Jumat, 20 September 2013

PAI Semester 1



BAB 1
Al-Qur’an Surah Al-Kafirun, 109: 1-6, Surah Yunus, 10: 40-41, dan Surah Al-Kahfi, 18: 29

A.    AL-KAFIRUN, 109: 1-6 TENTANG TIDAK ADA TOLERANSI DALAM KEIMANAN DAN PERIBADAHAN
    
1.     Bacaan dan Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat berikut dengan tertib (tartil), fasih, dan suara yang indah! Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan sebaik-baiknya.

v Ruang Tajwid
Bacaan
Hukum Bacaan
Cara Membaca
Alasan
يَٰٓأَيُّهَا
(Setelah huruf mad ada hamzah)
Mad wajib muttasil
Ya ayyuha
(panjangnya 5 harakat)
Karena huruf mad menghadapi huruf hamzah dalam satu kata
ٱلْكَٰفِرُونَ
(Setelah huruf mad bertemu huruf yang mati)

Mad ‘arid
Al-Kafirun
(panjangnya 2, 4 atau 6 harakat)
Karena adanya huruf mad bertemu huruf mati berhenti (waqaf) dalam bacaan
Ayat 3

(Nun mati menghadapi huruf ta’)
Ikhfa’
Ang tum
(dibaca samar)
Karena nun mati menghadapi huruf ta’ (salah satu huruf ikhfa’)
Ayat 4

(Tanda sukun pada huruf dal menghadapi huruf ta’ berharakat)
Idgam mutaja nisain
Abattum (memasukkan huruf dal pada huruf ta’)
Tanda sukun pada huruf dal menghadapi huruf ta’ berharakat, keduanya itu sama makhrajnya dan lain sifatnya

أَعْبُدُ
(Huruf dal dibaca waqaf)
Qalqalah kubra
A’budd (membacanya harus bergoncang dan berbunyi membalik serta lebih jelas)
Huruf dal berharakat sukun karena waqaf

2.     Terjemahan
a.     Terjemahan Ayat
1.      Katakanlah: “Wahai orang-orang kafir!”
2.      Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah
3.      Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah
4.      Dan aku tidak pernah (pula) menjadi penyebab Tuhan yang kamu sembah
5.      Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah
6.      Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku

3.     Kesimpulan
o   Penegasan bahwa Tuhan yang disembah (ma’bud) oleh Nabi Muhammad SAW dan umat islam berbeda dengan ma’bud orang-orang kafir (kaum musyirikin yang mengingkari keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW).
o   Penolakan dari Nabi Muhammad SAW dan umat Islam terhadap kaum kafir untuk mencampuradukkan keimanan dan peribadahan yang diajarkan Islam dengan keimanan dan peribadahan yang diajarkan agama kaum kafir yang mengandung kemusyrikan.
4.     Penjelasan
Surah Al-Kafirun ini termasuk surah Makkiyah atau surah yang diturunkan di Mekah, sebelum Nabi SAW berhijah ke Madinah. Al-Kafirun artinya orang-orang kafir. Surah ini dinamakan surah Al-Kafirun, karena tema pokoknya menjelaskan sikap Nabi Muhammad SAW dan umat Islam terhadap orang-orang kafir..
Perilaku-perilaku mereka antara lain :
a.      Menolak ajaran kaum musyirikin untuk tukar menukar pengalaman dalam keimanan dan peribadatan atau untuk keluar dari agama islam dan menganut agama mereka, dengan tegas dan bijaksana.
b.      Setiap Muslim/Muslimah akan bertekad dan berusaha secara sungguh-sungguh agar selama hidup di alam dunia ini senantiasa meyakini kebenaran agama Islam yang dianutnya dan mengenalkan seluruh ajarannya dengan bertakwa kepada Allah SWT.
c.       Walaupun umat Islam dengan umat lain (non-Islam) tidak ada kompromi (toleransi) dalam hal keimanan (akidah) dan peribadahan, namun dalam pergaulan hidup masyarakat antara umat Islam dengan umat lain (non-Islam) hendaknya saling menghormati dan menghargai.

B.    AL-QUR’AN SURAH YUNUS, 10: 40-41 TENTANG SIKAP TERHADAP ORANG YANG BERBEDA PENDAPAT

1.      Bacaan dan Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat berikut dengan tertib (tartil), fasih, dan suara yang indah! Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan sebaik-baiknya.
v  Ruang Tajwid
Bacaan
Hukum Bacaan
Cara Membaca
Alasan
Ayat 40

(Nun mati menghadapi huruf ha’)
Izhar
Minhum (dibaca jelas)
Karena nun mati menghadapi huruf ha’
Ayat 40

(Nun mati menghadapi huruf lam)
Idgam bila gunnah
Malla
(dibaca terpadu tanpa dengung)
Karena nun mati menghadapi huruf lam
Ayat 41

(Nun mati menghadapi huruf kaf)
Ikhfa’
Ing kazzabu
(dibaca samar)
Karena nun mati menghadapi huruf kaf (salah satu Ikhfa’)
Ayat 41

(Setelah huruf mad ada hamzah)
Mad wajib muttasil
Bariun
(panjangnya lima harakat)
Karena huruf mad menghadapi huruf hamzah dalam satu kata
Ayat 41

(Setelah huruf mad bertemu huruf yang mati)
Mad ‘arid
Ta’malun
(panjangnya 2, 4, atau 6 harakat)
Karena adanya huruf mad bertemu huruf mati berhenti (waqaf) dalam bacaan

2.     Terjemahan
a.     Terjemahan Ayat
“Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an, dan di antaranya (pula)orang-orang yang tidak beriman kepadanya, Tuhanmu lebih mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan. Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah! Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun berlepas diri dari apa yang kamu kerjakan.(Q.S. Yunus, 10: 40-41)

3.     Kesimpulan
Kandungan surah Yunus: 40-41 adalah :
o   Umat manusia yang hidup setelah di utusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah SWT yang terakhir, terbagi menjadi dua golongan : ada golongan umat manusia yang beriman terhadap kebenaran kerasulannya dan kitab suci yang disampaikannya (Al-Qur’an) dan ada pula golongan yang mendustakan kebenaran kerasulan Nabi Muhammad SAW dan tidak beriman kepada Al-Qur’an.
o   Allah SWT Maha Mengetahui sikap dan perilaku orang-orang beriman yang selama hidupnya di dunia senantiasa bertakwa kepada-Nya. Allah SWT pun Maha Mengetahui terhadap sikap dan perilaku orang-orang yang tidak beriman (kaum kafir).
o   Dalam menghadapi orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an dan mendustakan kebenaran Nabi Muhammad SAW, orang-orang yang beriman (umat Islam) harus berpendirian teguh dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW betul-betul Rasul Allah SWT yang terakhir.

C.     AL-QUR’AN SURAH AL-KAHFI, 18:29 TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
1.     Bacaan dan Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat berikut dengan tertib (tartil), fasih, dan suara yang indah! Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan sebaik-baiknya.
v Ruang Tajwid
Bacaan
Hukum Bacaan
Cara Membaca
Alasan
Awal ayat 29

(Nun mati menghadapai ra’)
Idgam Bilagunnah
Mirrabbikum
(bunyi sukun menjadi satu dengan ra’)
Nun sukun bertemu huruf ra’
Tengah ayat 29

(Nun mati menghadapi syin)
Ikhfa’ Haqiqi
Famany-sya’a
(suara nun masih tetap terdengar, tetapi samar antara izhar dan idgam)
Nun sukun  bertemu huruf syin
Tengah ayat 29

(Nun mati menghadapi wau)
Idgam Bigunnah
Miwwa
(nun sukun di masukkan menjadi satu dengan huruf wau dengan mendengung)
Nun sukun bertemu huruf wau
Tengah ayat 29

(Mad tabi’i berhadapan dengan hamzah pada kata berikutnya)
Mad jaiz Munfasil
Inna a’tadna
(panjangnya 2, 3, 4, atau 5 harakat)
Mad tabi’i bertemu hamzah pada kata berikutnya

2.     Terjemahan
a.     Terjemahan Ayat
“Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang yang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.(Q.S. Al-Kahfi, 18-29)

3.     Kesimpulan
Kesimpulan isi atau kandungan Surah Al-Kahfi 18: 29 itu adalah :
o   Kebenaran inni datangnya dari Allah SWT, sedangkan yang salahnya datang dari selain Allah SWT.
o   Manusia baik sebagai individu maupun kelompok, memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pilihan terhadap agama yang akan dianutnya.
o   Manusia yang memilih agama yang salah yakni yang tidak berasal dari Allah SWT dan mengandung unsure menyekutukan Allah dianggap zalim sedangkan balasan bagi orang zalim adalah neraka.

4.     Penjelasan
Kebebasan memilih agama merupakan Hak Asasi Manusia. Hal ini tercantum dalam piagam PBB tentang Hak-hak Asasi Manusia yang biasa disebut “The Universal Declaration of Human Rights” pasal 18, juga tercantum dalam Deklarasi Kairo tentang Hak-hak Asasi Manusia pasal 10. Selain itu dalam UDD Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, BAB III pasal 22.



























BAB 2
Al-Qur’an Surah Al-Mujadillah, 58: 11 dan Surah Al-Jumu’ah, 62: 9-10

A.    AL-QUR’AN SURAH AL-MUJADILLAH, 58: 11, TENTANG KEUNGGULAN ORANG YANG BERIMAN DAN BERILMU

1.     Bacaan dan Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat berikut dengan tertib (tartil), fasih, dan suara yang indah! Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan sebaik-baiknya.
v Ruang Tajwid

Bacaan
Hukum Bacaan
Cara Membaca
Alasan
Awal ayat 11

(Mad tabi’i berhadapan dengan hamzah pada kata berikutnya)
Mad Jaiz Munfasil
Ya ayyuhallaziina
(Ya dibaca panjang antara 2 sampai 5 harakat)
Karena huruf mad menghadapi huruf hamzah pada kalimat lain
Awal ayat 11

(Mad tabi’i berhadapan dengan hamzah pada kata berikutnya)
Mad Jaiz Munfasil
Aamanuu iza
(Nuu dibaca panjang antara 2 sampai 5 harakat)
Karena huruf mad menghadapi huruf hamzah pada kalimat lain

JA

Waqaf Jaiz
Boleh berhenti (waqaf) dan boleh pula disambung
Waqaf Jaiz
Tengah ayat 11


(Nun mati menghadapi syin)
Ikhfa’
Qiilang syuzuu (dibaca samar)
Nun mati menghadapi huruf syin


LA’

La waqfa fi hi
Tidak boleh berhenti (waqaf) tanpa mengulangi ayat sebelumnya
Karena tidak berada di akhir ayat

2.     Terjemahan
a.     Terjemahan Ayat
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan member kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S. Al-Mujadillah, 58: 11)

3.     Kesimpulan
Kesimpulan isi atau kandungan ayat 11 Surah Al-Mujadillah antara lain sebagai berikut :
a.      Suruhan untuk memberikan kelapangan kepada orang lain dalam majelis ilmu, majelis zikir, dan segala majelis yang sifatnya mentaati Allah SWT dan rasul-Nya.
b.      Apabila disuruh bangun untuk melakukan hal-hal yang baik dan diridai Allah, maka penuhilah suruhan tersebut dengan segera dan dengan cara yang sebaik-baiknya.
c.       Allah SWT mengangkat orang-orang yang beriman atas orang-orang yang tidak beriman beberapa derajat tingginya, dan Allah SWT mengangkat orang beriman dan berilmu pengetahuan atas orang-orang beriman tetapi tidak berilmu pengetahuan beberapa derajatnya.

4.     Penjelasan
a.      Ayat Al-Qur’an Surah Al-Mujadillah ayat 11 isinya antara lain berkaitan dengan adab atau tata krama yang harus ditetapkan dalam majelis-majelis yang baik dan di ridai Allah SWT.
b.      Adab yang dimaksud adalah memberikan kelapangan kepada orang-orang yang akan mengunjungi dan berada dalam majelis-majelis tersebut dengan cara tertentu.
c.       Mukmin/Mukminah apabila diperintah oleh Allah SWT dan rasul-Nya untuk bangun melaksanakan hal-hal yang baik diridai-Nya.
d.      Ilmu pengetahuan mempunyai banyak keutamaan.

B.    SURAH AL-JUMU’AH, 62: 9-10, TENTANG DORONGAN AGAR RAJIN BERIBADAH DAN GIAT BEKERJA

1.     Bacaan dan Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat berikut dengan tertib (tartil), fasih, dan suara yang indah! Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan sebaik-baiknya.


2.     Terjemahan
a.     Terjemahan Ayat
Ayat 9 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan salat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Ayat 10 :
“Apabila telah menunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah, 62: 9-10)

3.     Kesimpulan
Kesimpulan dari Al-Qur’an Surah Al-Jumu’ah: 9-10 tersebut adalah :
o   Seruan Allah SWT terhadap orang-orang beriman atau umat Islam yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai mukalaf untuk melaksanakan salat Jum’at. Agar dapat melaksanakan salat Jum’at umat Islam diwajibkan untuk meninggalkan semua pekerjaannya.
o   Umat Islam yang telah selesai menunaikan salat diperintah Allah SWT untuk berusaha atau bekerja agar memperoleh karunia-Nya.











BAB 3
Iman kepada Hari Akhir

A.    HARI KIAMAT SEBAGAI HARI PEMBALASAN HAKIKI
                         Beriman pada hari akhir menjasi ciri muttaqin (orang-orang yang bertakwa). Allah SWT berfirman sebagai berikut :
Artinya :
“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an)yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad)dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 4)

1.     Hari Kiamat menurut Al-Qur’an
a.     Kiamat Sugra
             Kiamat surga berarti kerusakan kecil. Misalnya kematian atau berbagai macam bencana alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, atau pun banjir, yang banyak menelan korban jiwa.
             Mati ialah terpisahnya antara jasmani dengan rohani. Jasmani kembali ke asalnya yaitu tanah, sedangkan rohani terus hidup di alam Barzakh (alam kubur). Alam Barzakh adalah alam tempat hidup umat manusia setelah mati sampai mereka dibangkitkan dari kuburnya masing-masing untuk kemdian ditentukan Allah. Firman Allah menyatakan sebagai berikut:
Artinya : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-‘Ankabut, 29: 57)

b.     Kiamat Kubra
             Kiamat kubra (kerusakan besar) adalah hancurnya alam semesta dengan segala isinya. Bumi, matahari, dan bintang saling bertabrakan sehingga mengalami kehancuran total. Manusia, jin, tumbuhan, dan hewan seluruhnya mati. Peristiwa ini terjadi setelah sangkakala pertama kali ditiup oleh Malaikat Israfil. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah yang artinya sebagai berikut ini :
“Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan di angkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu di benturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lapuk.” (Q.S Al-Haqqah, 69: 13-16) (Lihat dan pelajari juga Q.S. Az-Zumar, 39: 68 dan Q.S Ibrahim, 14: 48).
             Setelah terjadi kiamat kubra, Malaikat Israfil meniup sangkakala untuk yang kedua kalinya. Allah SWT membangkitkan dan menghidupkan kembali manusia yang pernah hidup di alam dunia dari tidurnya. Peristiwa dibangkitkannya manusia dari kuburnya, disebut Ba’as’.  Firman Allah SWT :
Artinya :  “Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur, kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.” (Q.S. ‘Abasa, 80: 21-22)
             Setelah seluruh umat manusia dibangkitkan dari kubur masing-masing, mereka dikumpulkan di padang yang sangat luas yang disebut Padang Mahsyar (lihat Q.S. Al-An’am, 6: 22). Hari dikumpulkannya seluruh umat manusia di Padang Mahsyar disebut Yaumul-Hasyr.
             Maksud dikumpulkannya umat manusia di Padang Mahsyar adalah untuk dihisab atau di perhitungkan amal perbuatan mereka ketika di dunia dengan seteliti dan seadil-adilnya (lihat Q.S. Al-Mujadilah, 58: 6). Peristiwa di Padang Mahsyar ini disebut Yaumul-Hisab.
             Rasulullah bersabda, “Pada hari kiamat seseorang tidak akan luput dari 4 pertanyaan: tentang umurnya, untuk apa aja umur itu dipergunakannya; tentang ilmunya, apa yang dilakukannya dengan ilmu ini; tentang hartanya, darimana didapatnya dan untuk apa dibelanjakannya; tentang tubuh (tenaga atau kekuatan tubuhnya), untuk apa dipakainya.” (H.R. At-Tirmizi)
             Perhitungan atau pengadilan Allah SWT di alam Akhirat kelak sangat adil. Tidak ada seorang pun yang dirugikan. Mereka berhak masuk surge karena ketakwaannya tentu akan masuk ke dalam surga. Sebaliknya, mereka yang harus masuk neraka karena kedurhakaannya kepada Allah tentu akan masuk ke dalam neraka.
Hari keputusan Allah SWT disebut Yaumul-Jaza’, Allah SWT berfirman:



Artinya:
“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (Q.S. Al-Mukmin: 18)

2.     Surga dan Neraka
                   Surga adalah tempat yang penuh dengan berbagai kenikmatan, yang disediakan Allah bagi orang-orang yang bertakwa. Neraka adalah tempat yang penuh dengan berbagai siksaan, yang disediakan Allah bagi orang-orang yang durhaka. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali ‘Imran, 3: 131-133)
                   Pengadilan Allah SWT di alam Akhirat pada hakikatnya merupakan pengadilan yang seadil-adilnya terhadap setiap amal perbuatan manusia ketika di dunia. Firman Allah menyatakan berikut ini:
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Al-Mulk, 67: 2)

B.    PERILAKU SEBAGAI PENCERMINAN KEIMANAN PADA HARI AKHIR
Perilaku sebagai pencerminan keimanan terhadap hari akhir itu antara lain:
1.      Senantiasa bertakwa kepada Allah SWT, yakni melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. (Lihat Q.S. Ali ‘Imran, 3: 131 dan 133)
2.      Disiplin dalam melaksanakan salat lima waktu dan ibadah-ibadah lain yang hukumnya wajib. (Lihat Q.S. Al-Muddassir, 74: 42-43)
3.      Mencintai para fakir miskin yang diwujudkan melalui sikap, ucapan, perbuatan dan bantuan harta benda. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Setiap sesuatu ada kuncinya, sedang kunci surge adalah mencintai para fakir miskin. Karena kesabaran mereka, mereka adalah kawan akrab Allah pada hari kiamat.” (H.R. Abu Bakar bin Laal dari Ibnu Umar bin Khattab)
4.      Menyantumi, memelihara, mengasuh, mendidik anak-anak yatim dengan penuh kasih sayang.
5.      Berperilaku terhadap tetangga, menghormati tamu, dan bertutur kata yang baik-baik aja atau diam. Sikap tutur kata dan perilaku tersebut termasuk tanda-tanda beriman kepada hari akhir.
6.      Melaksanakan tujuh macam perilaku yang menyebabkan memperoleh naungan (perlindungan) Allah SWT di alam akhirat kelak.

C.     HIKMAH BERIMAN PADA HARI AKHIR
Hikmah beriman pada hari akhir (hari Kiamat) itu antara lain:
1.      Memperkuat keyakinan bahwa Allah SWT Maha Kuasa dan Maha Adil
2.      Memberikan dorongan untuk membiasakan diri dengan sikap dan perilaku terpuji (akhlaqul-karimah) dan menjauhkan diri dari sikap serta perilaku tercela (akhlaqul-mazmumah).
3.      Memberi dorongan untuk bersikap optimis, tawakal, dan sabar meskipun tertimpa berbagai kemalangan. (Pelajari Q.S. Al-Baqarah, 2: 155 dan Ali-Imran, 3: 159)





















BAB 4
Perilaku Terpuji

A.    ADIL
                         Dalam kamus bahasa Indonesia, kata adil berasal dari bahasa Arab yang berarti tidak berat sebelah, jujur, tidak berpihak, atau proporsional. Pengertian adil menurut istilah ilmu akhlak dapat dikemukakan sebagai berikut:
Ø  Meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Ø  Menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain tanpa kurang.
Ø  Memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap, tidak melebihi dan tidak mengurangi, antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan menghukum orang jahat atau melanggar hokum sesuai dengan kesalahan dan pelanggarannya.
                         Perintah untuk bersikap dan berperilaku adil telah difirmankan Allah SWT sebagai berikut.


Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berperilaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan….” (Q.S. An-Nahl, 16: 90)
B.    RIDA
                         Kata rida berasal dari bahasa Arab yang artinya rela dan menerima dengan suci hati. Menurut istilah rida berarti menerima dengan rasa senang apa yang Allah baik berupa peraturan, hukum, ataupun qada atau ketentuan nasib.
                         Mengacu pada pengertian rida, menurut istilah seperti tersebut rida dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
a.      Rida terhadap hukum (peraturan) Allah SWT. Orang yang rida terhadap hukum Allah SWT tentu akan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. (Lihat Q.S. At-Taubah, 9: 59)
b.      Rida terhadap qada dan qadar Allah SWT yang berkaitan dengan nasib. Orang beriman yang bijaksana akan menerima qada qadar Allah SWT yang berupa kenikmatan dengan rasa syukur.

C.     AMAL SALEH
                         Menurut pengertian kebahasaan amal berarti perbuatan dan saleh berarti baik. Jadi amal saleh berarti perbuatan yang baik.
                         Menurut istilah dalam pengertian yang khusus amal saleh ialah setiap hal yang mengajak dan membawa ketaatan terhadap Allah SWT, baik perbuatan lahir maupun batin.
Syarat sahnya amal saleh adalah:
1.      Amal saleh itu dikerjakan dengan niat ikhlas karena Allah SWT semata. (Lihat Q.S. Az-Zumar, 39: 11-12)
Rasulullah SAW bersabda:
“Allah tidak menerima amal melainkan yang didasari ikhlas karena Allah dan untuk mencari keridaan-Nya.” (H.R. Ibnu Majah)
2.      Amal saleh itu hendaknya dilakukan secara sah, sesuai dengan petunjuk syara’ (Al-Qur’an dan Hadis).
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal tanpa ada dasarnya dalam perintah (agama), maka (amal tersebut) ditolak.” (H.R. Muslim). (Lihat juga Q.S. Az-Zumar, 39: 11-12)
3.      Dilakukan dengan mengetahui ilmunya.
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya (tidak mengetahui ilmunya), maka tunggulah kehancurannya.” (H.R. Bukhari)
                  Apabila amal-amal saleh itu dikerjakan dengan niat ikhlas karena Allah sesuai ketentuan syara’ dan sesuai dengan ilmunya, akan mendatangkan kebaikan-kebaikan baik bagi kehidupan di alam dunia maupun bagi kehidupan di alam akhirat.
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 82)

















BAB 5
MUNAKAHAT


A.    KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
1.     Pengertian
                   Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Dalam istilah syariat, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menghasilkan hubungan kelamin antara keduanya dengan suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia, yang di ridai oleh Allah SWT.

2.     Hukum Nikah
                   Menurut sebagian besar ulama, hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
                   Hukum nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makruh, atau haram. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.      Sunah
          Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinaan, walaupun tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah sunah.
2.      Wajib
          Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah wajib.
3.      Makruh
          Bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu member nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum nikah adalah makruh.
4.      Haram
          Bagi orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi, maka hukum nikah adalah haram.




3.     Tujuan Pernikahan
                   Secara umum, tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Apabila tujuan pernikahan yang bersifat umum itu diuraikan secara terperinci tujuan pernikahan yang islami dapat dikemukakan sebagai berikut:
v  Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang. Allah SWT berfirman:
Artinya:”Dan jadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang…” (Q.S. Ar-Rum, 30: 21)
v  Untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah). Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kebiasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya…” (Q.S. Ar-Rum, 30:21)
v  Untuk mewujudkan keluarga bahagia di dunia dan akhirat.

4.     Rukun Nikah
Rukun nikah ada lima macam yakni sebagai berikut:
1)      Ada calon suami, dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama Islam, tidak dipaksa/terpaksa, tidak ssedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.
2)      Ada calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur (16 tahun): bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
3)      Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya.
a)      Wali Nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan.
b)      Wakil Hakim, yaitu kepala negara yang beragama Islam.
                Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
a)      Beragama Islam.
b)      Laki-laki.
c)      Balig dan berakal.
d)      Merdeka dan bukan hamba sahaya.
e)      Bersifat adil.
f)       Tidak sedang ihram haji atau umrah.
4)      Ada dua orang saksi.
5)      Ada akad nikah yakni ucapan ijab kabul. Ijab adalah  ucapan wali (dari pihak mempelai wanita), sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabal adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunnah. Suruhan untuk memberikan mas kawin terdapat dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan……” (Q.S. An-Nisa’, 4: 4)

5.     Muhrim
                   Menurut pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu sebagai berikut:
v  Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
a.      Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b.      Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c.       Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu).
d.      Saudara perempuan dari bapak.
e.      Saudara perempuan dari ibu.
f.        Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g.      Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
v  Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan:
a.      Ibu yang menyusui.
b.      Saudara perempuan sesusuan.
v  Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan:
a.      Ibu dari istri (mertua).
b.      Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami telah berkumpul dengan ibunya.
c.       Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayahmu.” (Q.S. An-Nisa’, 4: 22)
d.      Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
v Wanita yang haram dinikahi karena pertalian muhrim dengan istri. Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya.

6.     Kewajiban Suami dan Istri
Secara umum kewajiban suami-istri adalah sebagai berikut:
v  Kewajiban Suami
a.      Memberi nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal.
b.      Memimpin serta membimbing istri dan anak-anak, agar menjadi orang yang berguna, keluarga, agama, masyarakat, serta bangsa dan negaranya.
c.       Bergaul dengan istri dan anak-anak dengan baik (makruf).
d.      Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak saleh.
v  Kewajiban Istri
a.      Taat kepada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam.
b.      Memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami, baik di hadapan atau di belakangnya.
c.       Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga.
d.      Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang diberikan suami, sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya, hemat, cermat, dan bijaksana.
e.      Hormat dan sopan kepada suami dan keluarganya.
f.        Memelihara, mengasuh, dan mendidik anak agar menjadi anak yang saleh.

7.     Perceraian
                   Perceraian berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Sebab terjadi perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim (juru damai) dari pihak suami dan pihak istri. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap wanita (istri) yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, haramlah baginya wangi-wangi surga.” (H.R. Ashabus Sunan kecuali An-Nasa’i)
                   Hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak, fasakh, khulu’, li’an, ila’, dan zihar. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

a.      Talak
          Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara suka rela ucapan talak dari pihak suami kepada istrinya. Talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.      Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya, dan suami boleh rujuk (kembali) kepada istri yang telah ditalaknya selama masih dalam masa ‘iddah.
b.      Talak Ba’i n, yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk (kembali) kepada istri yang ditalaknya itu, melainkan mesti dengan akad nikah baru.
          Selesai akad nikah biasanya mengucapkan ta’lik talak, yaitu talak yang digantungkan dengan sesuatu (syarat atau perjanjian). Misalnya, suami berkata kepada istrinya, “bila selama 3 bulan berturut-turut saya tidak memberi nafkah kepada engkau, berarti saya telah mentalak engkau.” Ta’lik talak hukumnya sah dan dibenarkan syara’.
b.      Fasakh
          Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu. Fasakh dilakukan oleh hakim agama, karena adanya pengaduan dari istri atau suami dengan alasan yang dapat dibenarkan.
          Akibat perceraian dengan fasakh, suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya. Berbeda dengan khulu’, fasakh tidak memengaruhi bilangan talak. Artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dari tiga kali, bekas suami-istri itu boleh menikah kembali, tanpa bekas istrinya harus menikah dulu dengan laki-laki lain.
c.       Khulu’
          Menurut istilah bahasa, khulu’ berarti tanggal. Dalam ilmu fikih, khulu’ adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
          Khulu’ diperkenankan dalam Islam, dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri. Allah SWT berfirman yang artinya, “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 229)
          Akibat perceraian dengan cara khulu’, suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa ‘iddah. Berbeda dengan fasakh, khulu’ dapat memengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talak ba’in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya, sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa ‘iddah-nya.
d.      Li’an
          Li’an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina). Dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, “Laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku itu dusta.”
          Apabila suami sudah menjatuhkan li’an, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang sedang sampai mati. Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang li’an ini terdapat dalam Surah An-Nur, 24: 6-10.
e.      Ila’
          Ila’ berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama 4 bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Jika sebelum 4 bulan dia kembali kepada istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat).
          Akan tetapi, jika sampai 4 bulan ia tidak kembali pada istrinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih di antara dua hal, kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak istrinya. Apabila suami tidak bersedia menentukan dengan pilihannya, maka hakim memutuskan bahwa suami telah mentalak istrinya dengan talak ba’in sugra, sehingga ia tidak dapat rujuk lagi.
          Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang Ila’ ialah Surah Al-Baqarah, 2: 226-227.
f.        Zihar
          Zihar adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya, “Punggungmu sama dengan punggung ibuku.” Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut, dan tidak melanjutkannya dengan mentalak istrinya, wajib baginya membayar kafarat, dan haram meniduri istrinya sebelum kafarat dibayar.
8.     ‘Iddah
                   ‘Iddah berarti masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dengan suaminya untuk dibolehkan menikah kembali dengan laki-laki lain. Tujuan ‘iddah adalah untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu hamil atau tidak.
                   Lama masa ‘iddah adalah sebagai berikut:
1.      ‘Iddah karena suami wafat
a.      Bagi istri yang tidak hamil, baik sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum, masa ‘iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 234)
b.      Bagi istri yang sedang hamil, masa ‘iddah-nya adalah sampai melahirkan. (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
2.      ‘Iddah karena talak, fasakh, dan khulu’
a.      Bagi istri yang belum campur dengan suami yang baru saja bercerai dengannya, tidak ada masa ‘iddah. (Q.S. Al-Ahzab, 33: 49)
b.      Bagi istri yang sudah campur, masa ‘iddah-nya adalah:
1)      Bagi yang masih mengalami menstruasi, masa ‘iddah-nya ialah tiga kali suci. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 228)
2)      Bagi istri yang tidak mengalami menstruasi, misalnya karena usia tua (menopause), masa ‘iddah-nya adalah 3 bulan. (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
3)      Bagi istri yang sedang mengandung, masa ‘iddah-nya ialah sampai dengan melahirkan kandungannya (Q.S. At-Talaq, 65: 4)

9.     Rujuk
                   Rujuk berarti kembali, yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya sebagaimana semula, selama istrinya masih dalam masa ‘iddah raj’iyah (Lihat Q.S. Al-Baqarah, 2: 228)
                   Hukum rujuk asalnya mubah, artinya boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi, hukum rujuk bisa berubah, sebagai berikut:
1.      Sunah, misalnya apabila rujuknya suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga bahagia.
2.      Wajib, misalnya bagi suami mentalak salah seorang istinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.
3.      Makruh (dibenci), apabila meneruskan perceraian lebih bermanfaat dari pada rujuk.
4.      Haram, misalnya jika maksud rujuknya suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk mendurhakai Allah SWT.

Rukun rujuk ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan masih berada pada masa ‘iddah raj’iyah.
2.      Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.
3.      Ada dua orang saksi, yaitu dua orang laki-laki yang adil. (Q.S. At-Talaq, 65: 2)
4.      Ada sigat atau ucapan rujuk, misalnya suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama masih berada dalam masa ‘iddah raj’iyah, “Saya rujuk kepada engkau!”



B.    HIKMAH PERNIKAHAN
                         Fuqaha (ulama fikih) menjelaskan tentang hikmah-hikmah pernikahan yang islami, antara lain:
1.      Memenuhi kebutuhan seksual dengan cara yang diridai Allah (cara yang islami), dan menghindari cara yang dimurkai Allah seperti perzinaan atau homoseks (gay atau lesbian).
2.      Pernikahan merupakan cara yang benar, baik, dan diridai Allah untuk memperoleh anak serta mengembangkan keturunan yang sah.
3.      Melalui pernikahan, suami-istri dapat memupuk rasa tanggung jawab membaginya dalam rangka memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sehingga memberikan motivasi yang kuat untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
4.      Menjalin hubungan silaturahmi antara keluarga suami dan keluarga istri, sehingga sesama mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.

C.     PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
                         Perundang-undangan perkawinan di Indonesia bersumber kepada Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan.
                         Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan tersebut, sebagai pengembangan dan penyempurnaan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
                         Hal-hal yang perlu diketahui dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan antara lain:
1.      Pengertian dan Tujuan Perkawinan
                   Dalam pasal 2 dan pasal 3 dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perngertian perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan tujuan perkawinan ialah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
2.      Sahnya Perkawinan
                   Dalam pasal 4 dari Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penjelasan pasal 2 ayat (1) UU RI Tahun 1974 mengatakan sebagai berikut:
·         Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan UUD 1945.
·         Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
3.      Pencatatan Perkawinan
                   Dalam pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan dijelaskan:
Ø  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
Ø  Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (Kantor Urusan Agama Kecamatan di mana calon mempelai bertempat tinggal).
Ø  Agar pelaksanaan pencatatan perkawinan itu dapat berlangsung dengan baik, maka setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
Ø  Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
4.      Akta Nikah
                   Akta Nikah atau Buku Nikah (Surat Nikah) adalah surat keterangan yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah yakni Kantor Urusan Agama Kecamatan, tempat dilangsungkannya pernikahan yang menerangkan bahwa pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam telah terjadi akad nikah antara: seorang laki-laki (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, dan tempat tinggal) dengan seorang perempuan (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, dan tempat tinggal) dan yang menjadi wali (juga dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan apa hubungannya dengan yang diwalikan).
5.      Kawin Hamil
                   Dalam pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dari Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan dijelaskan:
1.      Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat menikah dengan pria yang menghamilinnya.
2.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.      Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
             Hal-hal lain yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan adalah peminangan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, poligami, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya perkawinan, rujuk dan masa berkabung.




















BAB 6
Perkembangan Islam di Indonesia

A.    MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
                         Menurut hasil seminar “Masuknya Islam di Indonesia,” pada tanggal 17-20 Maret 1963 di Medan yang dihadiri oleh sejumlah budayawan sejarawan Indonesia, disebutkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pertama kali pada abad pertama Hijriah (kira-kira abad 8 Masehi).
Islam masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu:
Ø  Jalur utara, dengan rute: Arab (Mekah dan Madinah) – Damaskus – Bagdad – Gujarat (Pantai Barat India) – Srilangka – Indonesia
Ø  Jalur selatan, dengan rute: Arab (Mekah dan Madinah) – Yaman – Gujarat – Srilangka – Indonesia
                         Daerah pertama dari kepulauan Indonesia yang dimasukin Islam adalah pantai Sumatera bagian utara.
                         Berawal dari daerah itulah Islam mulai menyebar ke berbagai pelosok Indonesia, yaitu: wilayah-wilayah Pulau Sumatera (selain pantai Sumatera bagian utara), Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, Kepulauan Maluku dan sekitarnya, dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Hal itu disebabkan antara lain sebagai berikut:
·         Adanya dorongan kewajiban bagi setiap Muslim/Muslimah, khususnya para ulamanya, untuk berdakwah mensyiarkan Islam sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
·         Adanya kesungguhan hati dan keuletan para juru dakwah untuk berdakwah secara terus-menerus kepada keluarga, para tetangga, dan masyarakat sekitarnya.
·         Persyaratan untuk memasuki Islam sangat mudah, seseorang telah dianggap masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
·         Ajaran Islam tentang persamaan dan tidak adanya sistem kasta dan diskriminasi mudah menarik simpati rakyat, terutama dari lapisan bawah.
·         Banyak raja-raja Islam yang ada di berbagai wilayah Indonesia ikut berperan aktif melaksanakan kegiatan dakwah islamiah, khususnya terhadap rakyat mereka.

B.    PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Berikut ini perkembangan Islam di Indonesia.
1.     Sumatera
                     Daerah yang dimasuki Islam dari kepulauan Indonesia adalah Sumatera bagian utara, seperti Pasai dan Perlak. Karena wilayah Sumatera bagian Utara letaknya di tepi Selat Malaka, tempat lalu lintas kapal-kapal dagang dari India ke Cina.
                     Para pedagang dari India, yakni bangsa Arab, Persi, dan Gujarat, yang juga para mubalig Islam, banyak yang menetap di Bandar-bandar sepanjang Sumatera Utara. Mereka menikah dengan wanita-wanita pribu yang sebelumnya telah diislamkan, sehingga terbentuknya keluarga Muslim. Mereka mensyiarkan Islam dengan cara bijaksana, baik dengan lisan maupun sikap dan perbuatan, terhadap sanak famili, para tetangga, dan masyarakat sekitarnya.
                     Hingga akhirnya berdiri kerajaan Islam pertama, yaitu Samudra Pasai. Kerajaan ini berdiri pada tahun 1261 M, di pesisir timur Laut Aceh Lhokseumawe (Aceh Utara), rajanya bernama Merah Silu, bergelar Sultan Al-Malik As-Saleh. Beliau menikah dengan putrid Raja Perlak yang memeluk agama Islam.
                     Samudra Pasai makin berkembang dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Seiring dengan kemajuan kerajaan Samudra Pasai yang sangat pesat, pengembangan agama Islam pun mendapat perhatian dan dukungan penuh. Samudra Pasai terkenal dengan sebutan Serambi Mekah.
2.     Jawa
                     Penemuan nisan makam Siti Fatimah binti Maimun di daerah Leran/Gresik yang wafat tahun 1101 M dijadikan tonggak awal kedatangan Islam di Jawa. Hingga pertengahan abad ke-13, bukti-bukti kepurbakalaan maupun berita-berita asing tentang masuknya Islam di Jawa sangatlah sedikit. Baru sejak akhir abad ke-13 M hingga abad-abad berikutnya, terutama sejak Majapahit mencapai puncak kejayaannya, bukti-bukti proses pengembangan Islam ditemukan lebih banyak lagi. Misalnya, penemuan kuburan Islam di Troloyo, Trowulan, dan Gresik, juga berita Ma Huan (1416 M) yang menceritakan tentang adanya orang-orang Islam yang bertempat tinggal di Gresik.
                     Pertumbuhan masyarakat Muslim di sekitar Majapahit sangat erat kaitannya dengan perkembangan hubungan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Islam yang telah memiliki kekuatan politik dan ekonomi di Kerajaan Samudra Pasai dan Malaka. Pengembangan Islam di tanah Jawa dilakukan oleh para ulama dan mubalig yang kemudian terkenal dengan sebutan Wali Sanga (sembilan wali).
1.      Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
               Maulana Malik Ibrahim merupakan wali tertua di antara Wali Sanga yang mensyiarkan agama Islam di Jawa Timur, sehingga dikenal pada dengan nama Sunan Gresik. Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik dengan mendirikan masjid dan pesantren, tempat mengajarkan Islam kepada para santri dan kepada para penduduk agar menjadi umat Islam yang bertakwa. Beliau wafat pada tahun 1419 M (882 H) dan dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik.
2.      Sunan Ampel
               Sunan Ampel nama aslinya adalah Raden Rahmat. Lahir pada tahun 1401 M dan wafat pada tahun 1481 M serta dimakamkan di di desa Ampel. Sunan Ampel menikah dengan seorang putri Tuban bernama Nyi Ageng Manila dan dikaruniai empat orang anak, yaitu: Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Nyi Ageng Maloka, dan putri yang menjadi istri Sunan Kalijaga.
               Jasa-jasa Sunan Ampel antara lain:
v  Mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya.
v  Berperan aktif dalam membangun masjid agung Demak, yang dibangun pada tahun 1479 M.
v  Memelopori berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Fatah sebagai sultan pertamanya.
3.      Sunan Bonang
               Sunan Bonang nama aslinya adalah Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel. Lahir pada tahun 1465 M dan wafat tahun 1515 M. semasa hidupnya beliau mempelajari Islam dari ayahnya sendiri, kemudian bersama Raden Paku merantau ke Pasai untuk mendalami Islam. Jasa beliau sangat besar dalam penyiaran Islam.
4.      Sunan Giri (1365-1428)
               Beliau adalah seorang wali yang sangat besar pengaruhnya di Jawa, terutama di Jawa Timur. Ayahnya, Maulana Ishak, berasal dari Pasai dan ibunya, Sekardadu, putri Raja Blambangan Minak Sembayu. Belajar Islam di pesantren Ampel Denta dan Pasai.
               Sunan Giri (Raden Paku) mendirikan pesantren di Giri, kira-kira 3 km dari Gresik. Selain itu, beliau mengutus para mubalig untuk berdakwah ke daerah Madura, Bawean, Kangean, bahkan ke Lombok, Makassar, Ternate, dan Tidore.
5.      Sunan Drajat
               Nama aslinya adalah Syarifuddin, putra Sunan Ampel dan adik Sunan Bonang. Beliau berjasa dalam mensyiarkan Islam dan mendidik para santri sebagai calon mubalig.
6.      Sunan Gunung Jati
               Sunan Gunung Jati lebih dikenal dengan sebutan Syarif Hidayatullah. Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat dan berhasil mendirikan dua buah kerajaan Islam, yakni Banten dan Cirebon. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di Gunung Jati (7 km sebelah utara Cirebon).

7.      Sunan Kudus
               Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq, lahir pada pertengahan abad ke-15 dan wafat pada tahun 1550 M (960 H). Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, Jawa Tengah bagian utara. Sunan Kudus membangun sebuah masjid yang terkenal sebagai Masjid Menara Kudus. Sunan Kudus juga terkenal sebagai seorang sastrawan, di antara karya sastranya yang terkenal adalah gending Maskumambang dan Mijil.
8.      Sunan Kalijaga
               Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid, salah seorang Wali Sanga yang terkenal karena berjiwa besar, toleran, dan juga pujangga. Beliau adalah seorang mubalig yang berdakwah sambil berkelana. Di dalam dakwahnya Sunan Kalijaga sering menggunakan kesenian rakyat (gamelan, wayang, serta lagu-lagu daerah). Belau wafat pada akhir ke-16 dan dimakamkan di desa Kadilangu sebelah timur laut kota Demak.
9.      Sunan Muria
               Nama aslinya Raden Umar Said, putra dari Sunan Kalijaga. Beliau seorang mubalig yang berdakwah ke pelosok-pelosok desa dan daerah pegunungan. Di dalam dakwahnya beliau menggunakan sarana gamelan serta kesenian daerah lainnya. Beliau dimakamkan di Gunung Muria, yang terletak di sebelah utara kota Kudus.

3.     Sulawesi
                     Menurut berita Tom Pires, pada awal abad ke-16 di Sulawesi banyak kerajaan-kerajaan kecil yang sebagian masih memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Di antara kerajaan-kerajaan itu yang paling terkenal dan besar adalah kerajaan Gowa Tallo, Bone, Wajo, dan Sopang.
                     Pada tahun 1562-1565 M, di bawah pimpinan Raja Tumaparisi Kolama, kerajaan Gowa Tallo berhasil menaklukkan daerah Selayar, Bulukumba, Maros, Mandar, dan Luwu. Pada masa itu, di Gowa Tallo telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dalam jumlah yang cukup besar. Atas jasa Dato Ribandang dan Dato Sulaemana, penyebaran dan pengembangan Islam lebih intensif dan mendapat kemajuan yang pesat. Pada tanggal 22 September 1605 Raja Gowa yang bernama Karaeng Tonigallo masuk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin. Beliau berhubungan baik dengan Ternate, bahkan secara pribadi beliau bersahabat baik dengan Sultan Babullah dari Ternate.
                     Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak Islam, Gowa melakukan perluasan kekuasaannya. Daerah Wajo dan Sopeng berhasil ditaklukkan pada tahun 1611 M. Sejak saat itu Gowa menjadi pelabuhan transit yang sangat ramai.


4.     Kalimantan
                     Sebelum Islam masuk ke Kalimantan, di Kalimantan Selatan terdapat kerajaan-kerajaan Hindu yang berpusat di negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang terletak di hulu sungai Nagara dan Amuntai Kimi. Kerajaan-kerajaan ini sudah menjalin hubungan dengan Majapahit, bahkan salah seorang raja Majapahit menikah dengan Putri Tunjung Buih. Hal tersebut tercatat dalam Kitab “Negara Kertagama” karya Empu Prapanca.
                     Menjelang kedatangan Islam, Kerajaan Daha diperintah oleh Maha Raja Sukarana. Setelah beliau meninggal digantikan oleh Pangeran Tumenggung. Hal ini menimbulkan kemelut keluarga, karena Pangeran Samudra (cucu Maha Raja Sukarama) merasa lebih berhak atas takhta kerajaan. Akhirnya Pangeran Samudra dinobatkan menjadi Raja Banjar oleh para pengikut setianya, yang membawahi daerah Masik, Balit, Muhur, Kuwin dan Balitung, yang terletak di hilir sungai Nagara.
                     Berdasarkan hikayat Banjar, Pangeran Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak (Sultan Trenggono) untuk memerangi Kerajaan Daha, dengan perjanjian apabila Kerajaan Daha dapat dikalahkan maka Pangeran Samudra beserta rakyatnya bersedia masuk Islam. Ternyata berkat bantuan tentara Demak, Pangeran Tumenggung dari Kerajaan Daha dapat ditundukkan sesuai dengan perjanjian, akhirnya Raja Banjar, Pangeran Samudra beserta segenap rakyatnya masuk Islam dan bergelar Sultan Suryamullah. Menurut A.A Cense dalam bukunya, “De Kroniek van Banjarmasin 1928,” peristiwa itu terjadi pada tahun 1550 M.
5.     Maluku dan Sekitarnya
                     Antara tahun 1400-1500 M (abad ke-15) Islam telah masuk dan berkembang di Maluku, dibawa oleh para pedagang Muslim dari Pasai, Malaka, dan Jawa. Mereka yang sudah beragama Islam banyak yang pergi ke pesantren-pesantren di Jawa Timur untuk mempelajari Islam.
Raja-raja di Maluku yang masuk Islam di antaranya:
1.      Raja Ternate, yang kemudian bergelar Sultan Mahrum (1465-1486). Setelah beliau meninggal, digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin yang besar jasanya dalam mensyiarkan Islam di kepulauan Maluku dan Irian, bahkan sampai ke Filipina.
2.      Raja Tidore, yang kemudian bergelar Sultan Jamaludin.
3.      Raja Jailolo, yang berganti nama dengan Sultan Hasanuddin.
4.      Raja Bacan, yang masuk Islam pada tahun 1520 dan bergelar Sultan Zaenal Abidin.
                     Selain Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian. Daerah-daerah Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.

C.     HIKMAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
1.     Masa Penjajahan
a.      Peranan Umat Islam pada Masa Penjajahan
             Dengan dianutnya agama Islam oleh mayoritas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah banyak mendatangkan perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain:
Ø  Masyarakat Indonesia dibebaskan dari pemujaan berhala dan pendewaan raja-raja serta dibimbing agar menghambakan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Ø  Rasa persamaan dan rasa keadilan yang diajarkan Islam, (lihat Q.S. An-Nahl: 90), mampu mengubah masyarakat Indonesia yang dulunya menganut system kasta dan diskriminasi menjadi masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan, harkat, martabat, dan hak-hak yang sama.
Ø  Semangat cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang didengungkan Islam dengan semboyan “Habbul Watan Minal-Iman” (cinta tanah air sebagian dari iman) mampu mengubah cara berpikir masyarakat Indonesia, khususnya para pemuda, yang dulunya bersifat sekatrian (lebih mementingkan sukunya dan daerahnya) menjadi bersifat nasionalis (lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara).
Ø  Semboyan yang diajarkan Islam yang berbunyi “Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan” telah mampu mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan usaha-usaha mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan berbagai cara.
                  Allah SWT berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Q.S. Al-Baqarah: 190).
                  Menurut islam, berperang dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, negara, dan agama merupakan “Jihad bi sabilillah” yang hukumnya wajib. Sedangkan umat Islam yang mati dalam “Jihad fi sabilillah” tersebut dianggap mati syahid, yang imbalannya adalah surga.
b.      Perlawanan Kerajaan Islam dalam Menentang Penjajahan
1)      Perlawanan terhadap Penjajah Portugis
                   Bangsa Portugis datang dari Eropa Barat ke Dunia Timur, termasuk Indonesia, dengan semboyan “gold (tambang emas), glory (kemuliaan, keagungan), dan gospel (penyebaran agama Nasrani).”
                    Bangsa Portugis melakukan berbagai usaha dengan menghalalkan segala cara. Antara lain pada tahun 1511 mereka merebut Bandar Malaka, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Sultan Mahmud Syah (1488 – 1511).
                    Sikap bangsa Portugis yang kasar dan angkuh, yang bermaksud merebut kekuasaan dan memaksakan kemauannya dalah perdagangan, menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Indonesia bangkit untuk memberikan perlawanan mengusir penjajah Portugis dari bumi Nusantara.
                    Pada tahun 1526 bala tentara Demak di bawah pimpinan panglima perang Fatahillah berangkat melalui jalan laut menuju Sunda Kelapa untuk mengusir penjajah Portugis. Setibanya di Sunda Kelapa, Fatahillah dan bala tentaranya mengepung Sunda Kelapa dan terjadilah pertempuran sengit melawan penjajah Portugis. Dalam pertempuran ini Fatahillah dan bala tentaranya memperoleh kemenangan. Sunda Kelapa direbut dari tangan penjajah. Kemudian Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta. Portugis dan Spanyol mengadakan Perjanjian Tordesilas (1529) yang isinya:
1.      Maluku menjadi milik Portugis
2.      Filipina Selatan menjadi milik Spanyol

2)      Perlawanan terhadap Penjajah Belanda
                   Bangsa Indonesia kembali dijajah oleh bangsa Belanda, yang untuk pertama kali berlabuh di Banten pada tahun 1596 dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia sama dengan tujuan penjajah Portugis, yakni untuk memaksakan praktik monopoli perdagangan dalam menanamkan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Nusantara. Penjajah Belanda menempuh berbagai usaha dan menghalalkan segala cara. Misalkan, menerapkan politik Divide et Impera, muslihat damai, mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dari bumi Nusantara untuk membangun bangsanya, dan membiarkan rakyat Indonesia berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
                   Sejarah mencatat dengan tinta emas, sederetan nama para pejuang kusuma bangsa yang menderita, bahkan berkorban jiwa dalam berperang melawan penjajah Belanda, demi tegaknya kemerdekaan bangsa dan negara tercinta Indonesia.
                   Di pulau Jawa nama-nama tersebut antara lain: Sultan Ageng Tirtayasa, Kyai Tapa dan Bagus Buang dari Kesultanan Banten, Sultan Ageng dari Kesultanan Mataram, dan Pangeran Diponegoro dari Kesultanan Yogyakarta.
                   Dari Kesultanan Aceh kita bisa mengenal sederetan nama para panglima perang Islam, seperti: Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Cek Ditiro, Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, dan Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah.
                   Dari Maluku, yakni dari Kesultanan Ternate dan Tidore, tercatat nama-nama para pejuang kusuma bangsa seperti Saidi, Sultan Jamaluddin, dan Pangeran Neuku.
                   Dari Sulawesi Selatan, yakni dari kerajaan Gowa-Tallo dan Bone, terkenal nama pahlawan bangsa seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
                   Sedangkan dari Kalimantan Selatan, rakyat yang mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat pajak yang tinggi dan kewajiban kerja paksa serempak mengangkat senjata di bawah pimpinan para panglima perang, seperti: Pangeran Antasari, Kyai Demang Lemam, Berasa, Haji Masrin, Haji Bayasin, Kyai Langlang, Pangeran Hidayat, Pangeran Maradipa, dan Tumenggung Mancanegara.
                  Demikianlah nama-nama para pahlawan Islam sebagai para pejuang kusuma bangsa dari berbagai kepulauan di Nusantara, yang telah berperang melawan imperialism Belanda. Sayangnya, perlawanan mereka dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Hal ini disebabkan antara lain karena perlawanan mereka lebih bersifat lokal regional sporadis (tidak merata) dan kurang terkoordinasi serta persenjataan pihak kaum imperialis jauh lebih canggih.
2.     Masa Perang Kemerdekaan
a.      Peranan Ulama Islam Pada Masa Perang Kemerdekaan
                Peranan ulama Islam Indonesia pada masa perang kemerdekaan ada dua macam:
Ø  Membina kader umat Islam, melalui pesantren dan aktif dalam pembinaan masyarakat.
Ø  Turut bejuang secara fisik sebagai pemimpin perang.
                Para pahlawan Islam yang telah berjuang melawan imperialis Portugis dan Belanda, seperti: Fatahillah, Sultan Baabullah, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan Habib Abdurrahman, adalah juga para ulama yang beriman dan bertakwa, yang berakhlak baik dan bermanfaat bagi orang banyak sehingga mereka menjadi panutan umat.
b.      Peranan Organisasi dan Pondok Pesantren Pada Masa Perang Kemerdekaan
       Organisasi-organisasi tersebut adalah:
1.      Serikat Dagang Islam/Serikat Islam
               Serikat Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi dan Mas Tirta Adisuryo pada tahun 1905 di Kota Solo. Tujuan organisasi ini pada awalnya adalah menggalang kekuatan para pedagang Islam melawan monopoli pedagang Cina (yang mendapat perlakuan istimewa dari penjajahan Belanda) dan memajukan agama Islam.
               Pada tahun 1912 Serikat Dagang Islam diubah menjadi Serikat Islam (SI), bertujuan bukan hanya untuk memajukan para pedagang Islam, tetapi lebih luas lagi, yaitu untuk menghapus penderitaan, penghinaan, dan ketidakadilan yang menimpa seluruh rakyat Indonesia akibat ulah penjajahan Belanda.
               Pada tahun 1914 telah berdiri 56 perkumpulan lokal Serikat Islam yang telah resmi berbentuk badan hukum yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Untuk menyeragamkan gerak dan langkah, pada tanggal 18 Maret 1916 dibentuk wadah Serikat Islam Sentral, yang diketuai oleh Haji Omar Said Cokroaminoto.
               Pada bulan Juni 1916 Serikat Islam mengadakan kongresnya yang pertama yang dinamai Kongres Nasional Serikat Islam. Di dalam kongres itu dijelaskan bahwa istilah “Nasional” digunakan untuk mempertegas bahwa Serikat Islam mencita-citakan adanya suatu “Nation” bagi rakyat Indonesia (baca penduduk pribumi).
               Pada tahun 1923 Sentral Serikat Islam mengubah namanya menjadi Partai Serikat Islam (PSI). Gagasan gerakan Islam Internasional ini dikemukakan oleh Kyai Haji Agus Salim, dengan nama pan-Islamisme.
2.      Muhammadiyah
               Organisasi Islam Muhammadiyah didirikan di kota Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912. Peranan Muhammadiyah pada masa penjajahan Belanda lebih dititikberatkan pada usaha-usaha mencerdaskan rakyat Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan mereka, yakni dengan mendirikan sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah agama, rumah sakit, panti asuhan, rumah-rumah penampungan bagi warga miskin dan perpustakaan-perpustakaan.
                Pada tahun 1925, tidak lama setelah pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan wafat, Muhammadiyah sudah tersebar di semua kota besar di seluruh Indonesia serta berhasil membangun dan mengelola 1774 buah sekolah, 31 buah perpustakaan, 834 masjid, puluhan rumah sakit, panti asuhan, dan rumah-rumah penampungan bagi warga miskin.
3.      Nahdlatul Ulama (NU)
                NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dua tokoh penting dalam upaya pembentukan NU adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.
                Pada masa penjajahan Belanda, NU senantiasa berjuang menentang penjajah dan pernah mengeluarkan pernyataan politik yang isinya:
o  Menolak kerja rodi yang dibebankan oleh penjajah kepada rakyat.
o  Menolak rencana ordonansi (peraturan pemerintah) tentang perwakinan tercatat.
o  Menolak diadakannya Milisi (wajib militer).
o  Menyokong GAPI dalam menuntut Indonesia yang memiliki parlemen kepada pemerintah colonial Belanda.

4.      Pondok Pesantren
               Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang penyelenggaraan pendidikannya bersifat tradisional dan sederhana. Mata pelajaran yang diajarkan di pesantren adalah: Ilmu Tauhid, Fikih Islam, Akhlak, Ushul Fikih, Nahwu, Saraf, dan Ilmu Mantik. Sumber pelajaraannya, biasanya kitab-kitab berbahasa Arab yang tidak berharakat atau gundul, yang biasa disebut dengan “Kitab Kuning”.
3.     Masa Pembangunan
a.      Peranan Umat Islam pada Masa Pembangunan
              Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia, umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk, tampil di barisan terdepan dan perjuangan, baik perjuangan fisik (berperang) maupun perjuangan diplomasi. Di tahun-tahun awal kelahirannya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia harus menghadapi Jepang (September 1945), negara Sekutu (November 1945 – Maret 1946), dan Belanda (Agresi Belanda I pada 21 Juli 1947 dan Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948).
              Selain itu, kemerdekaan negara Republik Indonesia dipertahankan melalui usaha-usaha diplomatic, yaitu perundingan antara Indonesia dan Belanda, misalnya: perundingan Linggarjati (November 1946), perjanjian Renville (Desember 1947), perjanjian Roem Royen (April 1949), dan Konferensi Meja Bundar di Den Haag (2 November 1949).

b.      Peranan Organisasi Islam dalam Masa Pembangunan
              Organisasi Islam yang ada pada masa pembangunan ini cukup banyak, antara lain: Muhammadiyah; Nahdlatul Ulama (NU); Himpunan Mahasiswa Islam (HIM), berdiri tahun 1947 di Yogyakarta; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berdiri pada 17 April 1960 dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 26 Juli 1975.
       Peranan Muhammadiyah dalam masa pembangunan antara lain:
v  Melakukan usaha-usaha agar masyarakat Indonesia berilmu pengetahuan tinggi, berbudi luhur, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
v  Melakukan usaha-usaha di bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, antara lain mendirikan Rumah Sakit, Poliklinik, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak), Panti Asuhan, dan Pos Santunan Sosial.
               Nahdlatul Ulama, yang pernah berkiprah di bidang politik, dalam perkembangan selanjutnya melalui Munas NU pada tanggal 18 – 21 Desember 1984 di Situbondo, dengan tegas menyatakan bahwa NU meninggalkan aktivitas politik dan kembali ke khittah (tujuan dasar). Usaha-usaha NU antara lain:
Ø  Mendirikan madrasah-madrasah, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Perguruan Tinggi.
Ø  Mendirikan, mengelola, dan mengembangkan pesantren-pesantren.
Ø  Membantu dan mengurusi anak-anak yatim dan fakir miskin.
                Majelis Ulama Indonesia adalah organisasi keulamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi kepada salah satu aliran politik, mazhab atau aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia.
                Ada peranan Majelis Ulama Indonesia pada masa pembangunan adalah:
ü  Memberikan fatwa dan nasihat keagamaan dalam masalah sosial kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam pada umumnya, sebagai amar ma’ruf nahi mungkar dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
ü  Memperkuat Ukhuwah Islamiah dan melaksanakan kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.
ü  MUI adalah penghubung antara Ulama dan Umara serta menjadi penerjemah timbale-balik antara pemerintah dan umat Islam Indonesia guna menyukseskan pembangunan nasional.
                Organisasi ini pertama kali diketuai oleh Prof. DR. B.J.          Habibie, yang kemudian menjadi presiden ketiga Republik Indonesia.
c.       Peranan Lembaga Pendidikan Islam dalam Pembangunan
                Lembaga pendidikan Islam adalah badan yang berhubungan dengan pendidikan Islam untuk memenuhi kebutuhan umatnya di bidang pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia ada yang didirikan dan dikelola langsung oleh pemerintah (Departemen Agama), seperti: Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Madrasah Aliyah Negeri (MAN), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). IAIN sekarang berubah menjadi UIN (Unversitas Islam Negeri) yang tidak hanya mendalami ilmu tentang keislaman, seperti Fakultas Syariah dan Ushuluddin, tetapi juga mendalami ilmu pengetahuan umum, seperti Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran.
               Adapun peranan-peranan kelembagaan Islam dalam pembangunan antara lain:
o   Melakukan usaha-usaha agar masyarakat Indonesia bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
o   Menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
o   Memupuk persatuan dan kesatuan umat.
o   Mencerdaskan bangsa Indonesia.
o   Mengadakan pembinaan mental spiritual.