BAB 1
Al-Qur’an Surah Al-Kafirun, 109: 1-6, Surah Yunus, 10: 40-41, dan Surah
Al-Kahfi, 18: 29
A.
AL-KAFIRUN,
109: 1-6 TENTANG TIDAK ADA TOLERANSI DALAM KEIMANAN DAN PERIBADAHAN
1.
Bacaan dan
Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat berikut dengan tertib (tartil), fasih, dan suara yang indah!
Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan sebaik-baiknya.
v Ruang Tajwid
Bacaan
|
Hukum Bacaan
|
Cara Membaca
|
Alasan
|
يَٰٓأَيُّهَا
(Setelah huruf mad ada hamzah)
|
Mad
wajib muttasil
|
Ya
ayyuha
(panjangnya 5 harakat)
|
Karena huruf mad menghadapi huruf hamzah
dalam satu kata
|
ٱلْكَٰفِرُونَ
(Setelah huruf mad bertemu huruf yang mati)
|
Mad ‘arid
|
Al-Kafirun
(panjangnya
2, 4 atau 6 harakat)
|
Karena
adanya huruf mad bertemu huruf mati
berhenti (waqaf) dalam bacaan
|
Ayat
3
(Nun
mati menghadapi huruf ta’)
|
Ikhfa’
|
Ang tum
(dibaca
samar)
|
Karena nun mati menghadapi huruf ta’ (salah satu huruf ikhfa’)
|
Ayat
4
(Tanda sukun
pada huruf dal menghadapi huruf ta’ berharakat)
|
Idgam mutaja nisain
|
Abattum (memasukkan huruf dal pada huruf ta’)
|
Tanda sukun
pada huruf dal menghadapi huruf ta’
berharakat, keduanya itu sama makhrajnya dan lain sifatnya
|
أَعْبُدُ
(Huruf dal dibaca waqaf)
|
Qalqalah kubra
|
A’budd (membacanya harus bergoncang dan berbunyi
membalik serta lebih jelas)
|
Huruf dal berharakat sukun karena waqaf
|
2.
Terjemahan
a.
Terjemahan Ayat
1.
Katakanlah: “Wahai orang-orang
kafir!”
2.
Aku tidak menyembah apa yang kamu
sembah
3.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah
4.
Dan aku tidak pernah (pula) menjadi
penyebab Tuhan yang kamu sembah
5.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah
6.
Untukmulah agamamu dan untukkulah
agamaku
3.
Kesimpulan
o
Penegasan
bahwa Tuhan yang disembah (ma’bud)
oleh Nabi Muhammad SAW dan umat islam berbeda dengan ma’bud orang-orang kafir (kaum musyirikin yang mengingkari keesaan
Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW).
o
Penolakan
dari Nabi Muhammad SAW dan umat Islam terhadap kaum kafir untuk
mencampuradukkan keimanan dan peribadahan yang diajarkan Islam dengan keimanan
dan peribadahan yang diajarkan agama kaum kafir yang mengandung kemusyrikan.
4.
Penjelasan
Surah Al-Kafirun ini termasuk surah
Makkiyah atau surah yang diturunkan di Mekah, sebelum Nabi SAW berhijah ke
Madinah. Al-Kafirun artinya
orang-orang kafir. Surah ini dinamakan surah Al-Kafirun, karena tema pokoknya
menjelaskan sikap Nabi Muhammad SAW dan umat Islam terhadap orang-orang kafir..
Perilaku-perilaku mereka antara lain
:
a. Menolak ajaran kaum musyirikin untuk
tukar menukar pengalaman dalam keimanan dan peribadatan atau untuk keluar dari
agama islam dan menganut agama mereka, dengan tegas dan bijaksana.
b. Setiap Muslim/Muslimah akan bertekad
dan berusaha secara sungguh-sungguh agar selama hidup di alam dunia ini
senantiasa meyakini kebenaran agama Islam yang dianutnya dan mengenalkan
seluruh ajarannya dengan bertakwa kepada Allah SWT.
c. Walaupun umat Islam dengan umat lain
(non-Islam) tidak ada kompromi (toleransi) dalam hal keimanan (akidah) dan
peribadahan, namun dalam pergaulan hidup masyarakat antara umat Islam dengan
umat lain (non-Islam) hendaknya saling menghormati dan menghargai.
B.
AL-QUR’AN
SURAH YUNUS, 10: 40-41 TENTANG SIKAP TERHADAP ORANG YANG BERBEDA PENDAPAT
1.
Bacaan dan
Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat berikut dengan tertib (tartil), fasih, dan suara yang indah!
Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan sebaik-baiknya.
v Ruang Tajwid
Bacaan
|
Hukum Bacaan
|
Cara Membaca
|
Alasan
|
Ayat 40
(Nun mati menghadapi huruf ha’)
|
Izhar
|
Minhum (dibaca
jelas)
|
Karena nun mati menghadapi huruf ha’
|
Ayat 40
(Nun mati menghadapi huruf lam)
|
Idgam bila gunnah
|
Malla
(dibaca
terpadu tanpa dengung)
|
Karena
nun mati menghadapi huruf lam
|
Ayat 41
(Nun mati menghadapi huruf kaf)
|
Ikhfa’
|
Ing kazzabu
(dibaca
samar)
|
Karena nun mati menghadapi huruf kaf (salah satu Ikhfa’)
|
Ayat 41
(Setelah
huruf mad ada hamzah)
|
Mad wajib muttasil
|
Bariun
(panjangnya
lima harakat)
|
Karena
huruf mad menghadapi huruf hamzah dalam satu kata
|
Ayat 41
(Setelah
huruf mad bertemu huruf yang mati)
|
Mad ‘arid
|
Ta’malun
(panjangnya
2, 4, atau 6 harakat)
|
Karena
adanya huruf mad bertemu huruf mati
berhenti (waqaf) dalam bacaan
|
2.
Terjemahan
a.
Terjemahan
Ayat
“Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an, dan di
antaranya (pula)orang-orang yang tidak beriman kepadanya, Tuhanmu lebih
mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan. Jika mereka mendustakan kamu,
maka katakanlah! Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri
terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun berlepas diri dari apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Yunus, 10: 40-41)
3.
Kesimpulan
Kandungan surah Yunus: 40-41 adalah :
o
Umat
manusia yang hidup setelah di utusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah SWT
yang terakhir, terbagi menjadi dua golongan : ada golongan umat manusia yang
beriman terhadap kebenaran kerasulannya dan kitab suci yang disampaikannya
(Al-Qur’an) dan ada pula golongan yang mendustakan kebenaran kerasulan Nabi
Muhammad SAW dan tidak beriman kepada Al-Qur’an.
o
Allah
SWT Maha Mengetahui sikap dan perilaku orang-orang beriman yang selama hidupnya
di dunia senantiasa bertakwa kepada-Nya. Allah SWT pun Maha Mengetahui terhadap
sikap dan perilaku orang-orang yang tidak beriman (kaum kafir).
o
Dalam
menghadapi orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an dan mendustakan
kebenaran Nabi Muhammad SAW, orang-orang yang beriman (umat Islam) harus
berpendirian teguh dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW betul-betul Rasul Allah
SWT yang terakhir.
C.
AL-QUR’AN
SURAH AL-KAHFI, 18:29 TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
1.
Bacaan dan
Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat berikut dengan tertib (tartil), fasih, dan suara yang indah!
Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan sebaik-baiknya.
v Ruang Tajwid
Bacaan
|
Hukum
Bacaan
|
Cara
Membaca
|
Alasan
|
Awal ayat 29
(Nun mati menghadapai ra’)
|
Idgam Bilagunnah
|
Mirrabbikum
(bunyi
sukun menjadi satu dengan ra’)
|
Nun sukun
bertemu huruf ra’
|
Tengah ayat 29
(Nun mati menghadapi syin)
|
Ikhfa’ Haqiqi
|
Famany-sya’a
(suara nun masih tetap terdengar, tetapi
samar antara izhar dan idgam)
|
Nun
sukun bertemu huruf syin
|
Tengah ayat 29
(Nun mati menghadapi wau)
|
Idgam Bigunnah
|
Miwwa
(nun sukun di masukkan menjadi satu
dengan huruf wau dengan mendengung)
|
Nun sukun
bertemu huruf wau
|
Tengah
ayat 29
(Mad tabi’i berhadapan dengan hamzah pada kata berikutnya)
|
Mad jaiz Munfasil
|
Inna a’tadna
(panjangnya
2, 3, 4, atau 5 harakat)
|
Mad tabi’i
bertemu hamzah pada kata berikutnya
|
2.
Terjemahan
a.
Terjemahan
Ayat
“Dan katakanlah: kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang yang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek.” (Q.S. Al-Kahfi,
18-29)
3.
Kesimpulan
Kesimpulan isi atau kandungan Surah Al-Kahfi 18: 29 itu adalah :
o
Kebenaran
inni datangnya dari Allah SWT, sedangkan yang salahnya datang dari selain Allah
SWT.
o
Manusia
baik sebagai individu maupun kelompok, memiliki kebebasan penuh untuk menentukan
pilihan terhadap agama yang akan dianutnya.
o
Manusia
yang memilih agama yang salah yakni yang tidak berasal dari Allah SWT dan
mengandung unsure menyekutukan Allah dianggap zalim sedangkan balasan bagi
orang zalim adalah neraka.
4.
Penjelasan
Kebebasan memilih agama merupakan Hak
Asasi Manusia. Hal ini tercantum dalam piagam PBB tentang Hak-hak Asasi Manusia
yang biasa disebut “The Universal Declaration of Human Rights” pasal 18, juga
tercantum dalam Deklarasi Kairo tentang
Hak-hak Asasi Manusia pasal 10. Selain itu dalam UDD Republik Indonesia No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, BAB III pasal 22.
BAB 2
Al-Qur’an Surah Al-Mujadillah, 58: 11 dan Surah Al-Jumu’ah, 62: 9-10
A.
AL-QUR’AN
SURAH AL-MUJADILLAH, 58: 11, TENTANG KEUNGGULAN ORANG YANG BERIMAN DAN BERILMU
1.
Bacaan dan
Penjelasan Bacaan
Bacalah
ayat berikut dengan tertib (tartil),
fasih, dan suara yang indah! Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan
sebaik-baiknya.
v Ruang Tajwid
Bacaan
|
Hukum Bacaan
|
Cara Membaca
|
Alasan
|
Awal ayat 11
(Mad tabi’i
berhadapan dengan hamzah pada kata
berikutnya)
|
Mad Jaiz Munfasil
|
Ya ayyuhallaziina
(Ya dibaca panjang antara 2 sampai 5 harakat)
|
Karena huruf mad
menghadapi huruf hamzah pada
kalimat lain
|
Awal ayat 11
(Mad tabi’i berhadapan
dengan hamzah pada kata berikutnya)
|
Mad Jaiz Munfasil
|
Aamanuu iza
(Nuu
dibaca panjang antara 2 sampai 5 harakat)
|
Karena huruf mad
menghadapi huruf hamzah pada
kalimat lain
|
JA
|
Waqaf Jaiz
|
Boleh berhenti (waqaf) dan boleh pula disambung
|
Waqaf Jaiz
|
Tengah ayat 11
(Nun
mati menghadapi syin)
|
Ikhfa’
|
Qiilang syuzuu (dibaca samar)
|
Nun mati menghadapi huruf syin
|
LA’
|
La waqfa fi hi
|
Tidak boleh berhenti (waqaf) tanpa mengulangi ayat sebelumnya
|
Karena tidak berada di akhir ayat
|
2.
Terjemahan
a.
Terjemahan
Ayat
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah
dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan member kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadillah,
58: 11)
3.
Kesimpulan
Kesimpulan isi atau kandungan ayat 11 Surah
Al-Mujadillah antara lain sebagai berikut :
a. Suruhan
untuk memberikan kelapangan kepada orang lain dalam majelis ilmu, majelis
zikir, dan segala majelis yang sifatnya mentaati Allah SWT dan rasul-Nya.
b. Apabila
disuruh bangun untuk melakukan hal-hal yang baik dan diridai Allah, maka
penuhilah suruhan tersebut dengan segera dan dengan cara yang sebaik-baiknya.
c. Allah SWT
mengangkat orang-orang yang beriman atas orang-orang yang tidak beriman
beberapa derajat tingginya, dan Allah SWT mengangkat orang beriman dan berilmu
pengetahuan atas orang-orang beriman tetapi tidak berilmu pengetahuan beberapa
derajatnya.
4.
Penjelasan
a. Ayat
Al-Qur’an Surah Al-Mujadillah ayat 11 isinya antara lain berkaitan dengan adab
atau tata krama yang harus ditetapkan dalam majelis-majelis yang baik dan di
ridai Allah SWT.
b. Adab yang
dimaksud adalah memberikan kelapangan kepada orang-orang yang akan mengunjungi
dan berada dalam majelis-majelis tersebut dengan cara tertentu.
c. Mukmin/Mukminah
apabila diperintah oleh Allah SWT dan rasul-Nya untuk bangun melaksanakan
hal-hal yang baik diridai-Nya.
d. Ilmu
pengetahuan mempunyai banyak keutamaan.
B.
SURAH
AL-JUMU’AH, 62: 9-10, TENTANG DORONGAN AGAR RAJIN BERIBADAH DAN GIAT BEKERJA
1.
Bacaan dan
Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat
berikut dengan tertib (tartil),
fasih, dan suara yang indah! Begitu pula dengan maknanya, pahamilah dengan
sebaik-baiknya.
2.
Terjemahan
a.
Terjemahan
Ayat
Ayat 9 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk
menunaikan salat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui.”
Ayat 10 :
“Apabila telah menunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah, 62: 9-10)
3. Kesimpulan
Kesimpulan dari Al-Qur’an Surah
Al-Jumu’ah: 9-10 tersebut adalah :
o
Seruan
Allah SWT terhadap orang-orang beriman atau umat Islam yang telah memenuhi
syarat-syarat sebagai mukalaf untuk melaksanakan salat Jum’at. Agar dapat
melaksanakan salat Jum’at umat Islam diwajibkan untuk meninggalkan semua
pekerjaannya.
o
Umat
Islam yang telah selesai menunaikan salat diperintah Allah SWT untuk berusaha
atau bekerja agar memperoleh karunia-Nya.
BAB 3
Iman kepada
Hari Akhir
A.
HARI KIAMAT
SEBAGAI HARI PEMBALASAN HAKIKI
Beriman pada hari akhir menjasi ciri muttaqin (orang-orang yang bertakwa).
Allah SWT berfirman sebagai berikut :
Artinya :
“Dan mereka yang beriman kepada Kitab
(Al-Qur’an)yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad)dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Q.S.
Al-Baqarah, 2: 4)
1.
Hari Kiamat
menurut Al-Qur’an
a.
Kiamat
Sugra
Kiamat surga berarti kerusakan kecil. Misalnya
kematian atau berbagai macam bencana alam, seperti gempa bumi, gunung meletus,
atau pun banjir, yang banyak menelan korban jiwa.
Mati ialah terpisahnya antara
jasmani dengan rohani. Jasmani kembali ke asalnya yaitu tanah, sedangkan rohani
terus hidup di alam Barzakh (alam
kubur). Alam Barzakh adalah alam
tempat hidup umat manusia setelah mati sampai mereka dibangkitkan dari kuburnya
masing-masing untuk kemdian ditentukan Allah. Firman Allah menyatakan sebagai
berikut:
Artinya : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian kepada Kamilah kamu
dikembalikan.” (Q.S. Al-‘Ankabut, 29: 57)
b.
Kiamat
Kubra
Kiamat kubra (kerusakan besar) adalah hancurnya alam
semesta dengan segala isinya. Bumi, matahari, dan bintang saling bertabrakan
sehingga mengalami kehancuran total. Manusia, jin, tumbuhan, dan hewan
seluruhnya mati. Peristiwa ini terjadi setelah sangkakala pertama kali ditiup
oleh Malaikat Israfil. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah yang artinya
sebagai berikut ini :
“Maka
apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan di angkatlah bumi dan gunung-gunung,
lalu di benturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari
kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lapuk.” (Q.S Al-Haqqah, 69: 13-16) (Lihat dan
pelajari juga Q.S. Az-Zumar, 39: 68 dan
Q.S Ibrahim, 14: 48).
Setelah terjadi kiamat kubra,
Malaikat Israfil meniup sangkakala untuk yang kedua kalinya. Allah SWT
membangkitkan dan menghidupkan kembali manusia yang pernah hidup di alam dunia
dari tidurnya. Peristiwa dibangkitkannya manusia dari kuburnya, disebut Ba’as’.
Firman Allah SWT :
Artinya : “Kemudian Dia
mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur, kemudian bila Dia menghendaki,
Dia membangkitkannya kembali.” (Q.S. ‘Abasa, 80: 21-22)
Setelah seluruh umat manusia
dibangkitkan dari kubur masing-masing, mereka dikumpulkan di padang yang sangat
luas yang disebut Padang Mahsyar (lihat
Q.S. Al-An’am, 6: 22). Hari
dikumpulkannya seluruh umat manusia di Padang Mahsyar disebut Yaumul-Hasyr.
Maksud dikumpulkannya umat manusia
di Padang Mahsyar adalah untuk dihisab atau di perhitungkan amal perbuatan
mereka ketika di dunia dengan seteliti dan seadil-adilnya (lihat Q.S. Al-Mujadilah, 58: 6). Peristiwa di
Padang Mahsyar ini disebut Yaumul-Hisab.
Rasulullah bersabda, “Pada hari kiamat seseorang tidak akan luput
dari 4 pertanyaan: tentang umurnya, untuk apa aja umur itu dipergunakannya;
tentang ilmunya, apa yang dilakukannya dengan ilmu ini; tentang hartanya,
darimana didapatnya dan untuk apa dibelanjakannya; tentang tubuh (tenaga atau
kekuatan tubuhnya), untuk apa dipakainya.” (H.R. At-Tirmizi)
Perhitungan atau pengadilan Allah
SWT di alam Akhirat kelak sangat adil. Tidak ada seorang pun yang dirugikan.
Mereka berhak masuk surge karena ketakwaannya tentu akan masuk ke dalam surga.
Sebaliknya, mereka yang harus masuk neraka karena kedurhakaannya kepada Allah
tentu akan masuk ke dalam neraka.
Hari
keputusan Allah SWT disebut Yaumul-Jaza’,
Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi
balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini.
Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (Q.S. Al-Mukmin: 18)
2.
Surga dan
Neraka
Surga adalah tempat yang penuh dengan
berbagai kenikmatan, yang disediakan Allah bagi orang-orang yang bertakwa.
Neraka adalah tempat yang penuh dengan berbagai siksaan, yang disediakan Allah
bagi orang-orang yang durhaka. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang artinya,
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka,
yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali ‘Imran, 3: 131-133)
Pengadilan
Allah SWT di alam Akhirat pada hakikatnya merupakan pengadilan yang
seadil-adilnya terhadap setiap amal perbuatan manusia ketika di dunia. Firman
Allah menyatakan berikut ini:
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, untuk
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S.
Al-Mulk, 67: 2)
B.
PERILAKU
SEBAGAI PENCERMINAN KEIMANAN PADA HARI AKHIR
Perilaku
sebagai pencerminan keimanan terhadap hari akhir itu antara lain:
1.
Senantiasa
bertakwa kepada Allah SWT, yakni melaksanakan semua perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya. (Lihat Q.S.
Ali ‘Imran, 3: 131 dan 133)
2.
Disiplin
dalam melaksanakan salat lima waktu dan ibadah-ibadah lain yang hukumnya wajib.
(Lihat Q.S. Al-Muddassir, 74: 42-43)
3.
Mencintai
para fakir miskin yang diwujudkan melalui sikap, ucapan, perbuatan dan bantuan
harta benda. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Setiap sesuatu ada kuncinya, sedang kunci surge adalah mencintai para
fakir miskin. Karena kesabaran mereka, mereka adalah kawan akrab Allah pada
hari kiamat.” (H.R. Abu Bakar bin
Laal dari Ibnu Umar bin Khattab)
4.
Menyantumi,
memelihara, mengasuh, mendidik anak-anak yatim dengan penuh kasih sayang.
5.
Berperilaku
terhadap tetangga, menghormati tamu, dan bertutur kata yang baik-baik aja atau
diam. Sikap tutur kata dan perilaku tersebut termasuk tanda-tanda beriman
kepada hari akhir.
6.
Melaksanakan
tujuh macam perilaku yang menyebabkan memperoleh naungan (perlindungan) Allah
SWT di alam akhirat kelak.
C.
HIKMAH
BERIMAN PADA HARI AKHIR
Hikmah
beriman pada hari akhir (hari Kiamat) itu antara lain:
1.
Memperkuat
keyakinan bahwa Allah SWT Maha Kuasa dan Maha Adil
2.
Memberikan
dorongan untuk membiasakan diri dengan sikap dan perilaku terpuji (akhlaqul-karimah) dan menjauhkan diri
dari sikap serta perilaku tercela (akhlaqul-mazmumah).
3.
Memberi
dorongan untuk bersikap optimis, tawakal, dan sabar meskipun tertimpa berbagai
kemalangan. (Pelajari Q.S. Al-Baqarah,
2: 155 dan Ali-Imran, 3: 159)
BAB 4
Perilaku
Terpuji
A.
ADIL
Dalam kamus bahasa Indonesia, kata adil berasal dari bahasa Arab yang berarti
tidak berat sebelah, jujur, tidak berpihak, atau proporsional. Pengertian adil
menurut istilah ilmu akhlak dapat dikemukakan sebagai berikut:
Ø Meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Ø Menerima hak tanpa lebih dan
memberikan hak orang lain tanpa kurang.
Ø Memberikan hak setiap yang berhak
secara lengkap, tidak melebihi dan tidak mengurangi, antara sesama yang berhak
dalam keadaan yang sama, dan menghukum orang jahat atau melanggar hokum sesuai
dengan kesalahan dan pelanggarannya.
Perintah
untuk bersikap dan berperilaku adil telah difirmankan Allah SWT sebagai berikut.
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berperilaku
adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan….” (Q.S. An-Nahl, 16: 90)
B.
RIDA
Kata rida berasal dari bahasa Arab
yang artinya rela dan menerima dengan suci hati. Menurut istilah rida berarti
menerima dengan rasa senang apa yang Allah baik berupa peraturan, hukum,
ataupun qada atau ketentuan nasib.
Mengacu pada pengertian
rida, menurut istilah seperti tersebut rida dapat dibagi menjadi 2 macam,
yaitu:
a. Rida terhadap hukum (peraturan) Allah
SWT. Orang yang rida terhadap hukum Allah SWT tentu akan melaksanakan segala
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. (Lihat Q.S. At-Taubah, 9: 59)
b. Rida terhadap qada dan qadar Allah
SWT yang berkaitan dengan nasib. Orang beriman yang bijaksana akan menerima
qada qadar Allah SWT yang berupa kenikmatan dengan rasa syukur.
C.
AMAL SALEH
Menurut pengertian kebahasaan amal
berarti perbuatan dan saleh berarti baik. Jadi amal saleh berarti perbuatan
yang baik.
Menurut istilah dalam pengertian yang
khusus amal saleh ialah setiap hal yang mengajak dan membawa ketaatan terhadap
Allah SWT, baik perbuatan lahir maupun batin.
Syarat
sahnya amal saleh adalah:
1. Amal saleh itu dikerjakan dengan niat
ikhlas karena Allah SWT semata. (Lihat Q.S.
Az-Zumar, 39: 11-12)
Rasulullah
SAW bersabda:
“Allah tidak menerima amal melainkan
yang didasari ikhlas karena Allah dan untuk mencari keridaan-Nya.” (H.R.
Ibnu Majah)
2. Amal saleh itu hendaknya dilakukan
secara sah, sesuai dengan petunjuk syara’
(Al-Qur’an dan Hadis).
Rasulullah
SAW bersabda:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu
amal tanpa ada dasarnya dalam perintah (agama), maka (amal tersebut) ditolak.” (H.R.
Muslim). (Lihat juga Q.S. Az-Zumar,
39: 11-12)
3. Dilakukan dengan mengetahui ilmunya.
Rasulullah
SAW bersabda: “Apabila suatu urusan
diserahkan pada orang yang bukan ahlinya (tidak mengetahui ilmunya), maka
tunggulah kehancurannya.” (H.R.
Bukhari)
Apabila amal-amal saleh itu
dikerjakan dengan niat ikhlas karena Allah sesuai ketentuan syara’ dan sesuai dengan ilmunya, akan
mendatangkan kebaikan-kebaikan baik bagi kehidupan di alam dunia maupun bagi
kehidupan di alam akhirat.
Allah
SWT berfirman:
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:
82)
BAB 5
MUNAKAHAT
A.
KETENTUAN
HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
1. Pengertian
Munakahat berarti
pernikahan atau perkawinan. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti
berkumpul atau bersatu. Dalam istilah syariat,
nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menghasilkan hubungan
kelamin antara keduanya dengan suka rela dan persetujuan bersama, demi
terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia, yang di ridai oleh Allah SWT.
2.
Hukum Nikah
Menurut sebagian besar ulama, hukum
nikah pada dasarnya adalah mubah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Hukum
nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makruh, atau haram. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
1. Sunah
Bagi orang yang ingin menikah, mampu
menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinaan, walaupun tidak
segera menikah, maka hukum nikah adalah sunah.
2. Wajib
Bagi orang yang ingin menikah, mampu
menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika tidak segera menikah, maka hukum
nikah adalah wajib.
3. Makruh
Bagi orang yang ingin menikah,
tetapi belum mampu member nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum
nikah adalah makruh.
4. Haram
Bagi orang yang bermaksud menyakiti
wanita yang akan ia nikahi, maka hukum nikah adalah haram.
3. Tujuan Pernikahan
Secara umum, tujuan pernikahan
menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau
sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan agama Islam. Apabila tujuan pernikahan yang bersifat umum
itu diuraikan secara terperinci tujuan pernikahan yang islami dapat dikemukakan
sebagai berikut:
v Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih
sayang. Allah SWT berfirman:
Artinya:…”Dan
jadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang…” (Q.S. Ar-Rum, 30: 21)
v Untuk memperoleh ketenangan hidup
(sakinah). Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan
di antara tanda-tanda kebiasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya…” (Q.S. Ar-Rum, 30:21)
v Untuk mewujudkan keluarga bahagia di
dunia dan akhirat.
4. Rukun Nikah
Rukun nikah ada lima macam yakni
sebagai berikut:
1) Ada calon suami, dengan syarat:
laki-laki yang sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama Islam, tidak
dipaksa/terpaksa, tidak ssedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram
calon istrinya.
2) Ada calon istri, dengan syarat:
wanita yang sudah cukup umur (16 tahun): bukan perempuan musyrik, tidak dalam
ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak
dalam keadaan ihram haji atau umrah.
3) Ada wali nikah, yaitu orang yang
menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan
pernikahannya.
a) Wali Nasab,
yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan
dinikahkan.
b) Wakil Hakim, yaitu
kepala negara yang beragama Islam.
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
a) Beragama Islam.
b) Laki-laki.
c) Balig dan berakal.
d) Merdeka dan bukan hamba sahaya.
e) Bersifat adil.
f) Tidak sedang ihram haji atau umrah.
4) Ada dua orang saksi.
5) Ada akad nikah yakni ucapan ijab
kabul. Ijab adalah ucapan wali (dari pihak mempelai wanita),
sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabal adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan.
Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, tetapi mengucapkannya
dalam akad nikah hukumnya sunnah. Suruhan untuk memberikan mas kawin terdapat
dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan……” (Q.S. An-Nisa’, 4: 4)
5. Muhrim
Menurut pengertian bahasa, muhrim
berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim adalah wanita yang haram
dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu
sebagai berikut:
v Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas
(nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b. Anak perempuan kandung dan seterusnya
ke bawah (cucu dan seterusnya).
c. Saudara perempuan (sekandung, sebapak
atau seibu).
d. Saudara perempuan dari bapak.
e. Saudara perempuan dari ibu.
f.
Anak
perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g. Anak perempuan dari saudara perempuan
dan seterusnya ke bawah.
v Wanita yang haram dinikahi karena
hubungan sesusuan:
a. Ibu yang menyusui.
b. Saudara perempuan sesusuan.
v Wanita yang haram dinikahi karena
perkawinan:
a. Ibu dari istri (mertua).
b. Anak tiri (anak dari istri dengan
suami lain), apabila suami telah berkumpul dengan ibunya.
c. Ibu tiri (istri dari ayah), baik
sudah dicerai atau belum. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini oleh
ayahmu.” (Q.S. An-Nisa’, 4: 22)
d. Menantu (istri dari anak laki-laki),
baik sudah dicerai maupun belum.
v Wanita yang haram dinikahi karena
pertalian muhrim dengan istri. Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri
sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan
bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya.
6. Kewajiban Suami dan Istri
Secara umum kewajiban suami-istri
adalah sebagai berikut:
v Kewajiban Suami
a. Memberi nafkah, sandang, pangan, dan
tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan yang
diusahakan secara maksimal.
b. Memimpin serta membimbing istri dan
anak-anak, agar menjadi orang yang berguna, keluarga, agama, masyarakat, serta
bangsa dan negaranya.
c. Bergaul dengan istri dan anak-anak
dengan baik (makruf).
d. Membantu istri dalam tugas
sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak
saleh.
v Kewajiban Istri
a. Taat kepada suami dalam batas-batas
yang sesuai dengan ajaran Islam.
b. Memelihara diri serta kehormatan dan
harta benda suami, baik di hadapan atau di belakangnya.
c. Membantu suami dalam memimpin
kesejahteraan dan keselamatan keluarga.
d. Menerima dan menghormati pemberian
suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang diberikan suami, sesuai
dengan kekuatan dan kemampuannya, hemat, cermat, dan bijaksana.
e. Hormat dan sopan kepada suami dan
keluarganya.
f.
Memelihara,
mengasuh, dan mendidik anak agar menjadi anak yang saleh.
7. Perceraian
Perceraian
berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Sebab terjadi
perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak
dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim (juru damai) dari pihak
suami dan pihak istri. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap wanita (istri) yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan,
haramlah baginya wangi-wangi surga.” (H.R.
Ashabus Sunan kecuali An-Nasa’i)
Hal-hal yang dapat memutuskan ikatan
perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak,
fasakh, khulu’, li’an, ila’, dan zihar. Penjelasannya adalah sebagai
berikut:
a.
Talak
Talak berarti melepaskan ikatan
perkawinan dengan mengucapkan secara suka rela ucapan talak dari pihak suami
kepada istrinya. Talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Talak Raj’i,
yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya, dan
suami boleh rujuk (kembali) kepada istri yang telah ditalaknya selama masih
dalam masa ‘iddah.
b. Talak Ba’i n, yaitu
talak yang suami tidak boleh rujuk (kembali) kepada istri yang ditalaknya itu,
melainkan mesti dengan akad nikah baru.
Selesai
akad nikah biasanya mengucapkan ta’lik
talak, yaitu talak yang digantungkan dengan sesuatu (syarat atau perjanjian).
Misalnya, suami berkata kepada istrinya, “bila selama 3 bulan berturut-turut
saya tidak memberi nafkah kepada engkau, berarti saya telah mentalak engkau.” Ta’lik talak hukumnya sah dan dibenarkan
syara’.
b. Fasakh
Fasakh adalah
pembatalan pernikahan antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu. Fasakh dilakukan oleh hakim agama,
karena adanya pengaduan dari istri atau suami dengan alasan yang dapat
dibenarkan.
Akibat perceraian dengan fasakh, suami tidak boleh rujuk kepada
bekas istrinya. Berbeda dengan khulu’,
fasakh tidak memengaruhi bilangan talak. Artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dari tiga kali,
bekas suami-istri itu boleh menikah kembali, tanpa bekas istrinya harus menikah
dulu dengan laki-laki lain.
c. Khulu’
Menurut istilah bahasa, khulu’ berarti tanggal. Dalam ilmu
fikih, khulu’ adalah talak yang
dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik
dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan
sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
Khulu’ diperkenankan dalam Islam,
dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri. Allah
SWT berfirman yang artinya, “Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya.” (Q.S.
Al-Baqarah, 2: 229)
Akibat perceraian dengan cara khulu’, suami tidak dapat rujuk,
walaupun bekas istrinya masih dalam masa ‘iddah.
Berbeda dengan fasakh, khulu’ dapat memengaruhi bilangan talak.
Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talak ba’in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan
bekas istrinya, sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain,
bercerai, dan habis masa ‘iddah-nya.
d. Li’an
Li’an
adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat
mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina). Dengan mengangkat
sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan,
“Laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku itu
dusta.”
Apabila suami sudah menjatuhkan li’an, berlakulah hukum rajam terhadap
istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang sedang sampai mati. Ayat Al-Qur’an
yang menjelaskan tentang li’an ini
terdapat dalam Surah An-Nur, 24: 6-10.
e. Ila’
Ila’ berarti
sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama 4
bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Jika sebelum 4 bulan
dia kembali kepada istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda
sumpah (kafarat).
Akan tetapi, jika sampai 4 bulan ia
tidak kembali pada istrinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih di
antara dua hal, kembali kepada istrinya dengan
membayar kafarat sumpah atau mentalak
istrinya. Apabila suami tidak bersedia menentukan dengan pilihannya, maka hakim
memutuskan bahwa suami telah mentalak istrinya dengan talak ba’in sugra, sehingga ia tidak dapat rujuk lagi.
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
tentang Ila’ ialah Surah Al-Baqarah,
2: 226-227.
f.
Zihar
Zihar adalah ucapan
suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya,
“Punggungmu sama dengan punggung ibuku.” Jika suami mengucapkan kata-kata
tersebut, dan tidak melanjutkannya dengan mentalak istrinya, wajib baginya
membayar kafarat, dan haram meniduri
istrinya sebelum kafarat dibayar.
8. ‘Iddah
‘Iddah berarti masa
menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dengan suaminya untuk
dibolehkan menikah kembali dengan laki-laki
lain. Tujuan ‘iddah adalah untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu
hamil atau tidak.
Lama masa ‘iddah adalah sebagai berikut:
1. ‘Iddah karena
suami wafat
a. Bagi istri yang tidak hamil, baik
sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum, masa ‘iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari. (Q.S. Al-Baqarah, 2:
234)
b. Bagi istri yang sedang hamil, masa ‘iddah-nya adalah sampai melahirkan.
(Q.S. At-Talaq, 65: 4)
2. ‘Iddah karena
talak, fasakh, dan khulu’
a. Bagi istri yang belum campur dengan
suami yang baru saja bercerai dengannya, tidak ada masa ‘iddah. (Q.S. Al-Ahzab, 33: 49)
b. Bagi istri yang sudah campur, masa ‘iddah-nya adalah:
1) Bagi yang masih mengalami menstruasi,
masa ‘iddah-nya ialah tiga kali suci.
(Q.S. Al-Baqarah, 2: 228)
2) Bagi istri yang tidak mengalami
menstruasi, misalnya karena usia tua (menopause), masa ‘iddah-nya adalah 3 bulan. (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
3) Bagi istri yang sedang mengandung,
masa ‘iddah-nya ialah sampai dengan
melahirkan kandungannya (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
9. Rujuk
Rujuk berarti kembali, yaitu
kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya sebagaimana semula, selama
istrinya masih dalam masa ‘iddah raj’iyah (Lihat Q.S.
Al-Baqarah, 2: 228)
Hukum
rujuk asalnya mubah, artinya boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi,
hukum rujuk bisa berubah, sebagai berikut:
1. Sunah, misalnya apabila rujuknya
suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan
perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga
bahagia.
2. Wajib, misalnya bagi suami mentalak
salah seorang istinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan
pembagian waktunya.
3. Makruh (dibenci), apabila meneruskan
perceraian lebih bermanfaat dari pada rujuk.
4. Haram, misalnya jika maksud rujuknya
suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk mendurhakai Allah SWT.
Rukun
rujuk ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:
1. Istri sudah bercampur dengan suami
yang mentalaknya dan masih berada pada masa
‘iddah raj’iyah.
2. Keinginan rujuk suami atas kehendak
sendiri, bukan karena dipaksa.
3. Ada dua orang saksi, yaitu dua orang
laki-laki yang adil. (Q.S. At-Talaq, 65: 2)
4. Ada sigat atau ucapan rujuk, misalnya
suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama masih berada dalam masa ‘iddah raj’iyah, “Saya rujuk kepada
engkau!”
B.
HIKMAH
PERNIKAHAN
Fuqaha (ulama fikih) menjelaskan tentang
hikmah-hikmah pernikahan yang islami, antara lain:
1.
Memenuhi
kebutuhan seksual dengan cara yang diridai Allah (cara yang islami), dan
menghindari cara yang dimurkai Allah seperti perzinaan atau homoseks (gay atau
lesbian).
2.
Pernikahan
merupakan cara yang benar, baik, dan diridai Allah untuk memperoleh anak serta
mengembangkan keturunan yang sah.
3.
Melalui
pernikahan, suami-istri dapat memupuk rasa tanggung jawab membaginya dalam
rangka memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sehingga memberikan
motivasi yang kuat untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya.
4.
Menjalin
hubungan silaturahmi antara keluarga suami dan keluarga istri, sehingga sesama
mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong
dalam dosa dan permusuhan.
C.
PERKAWINAN
MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Perundang-undangan perkawinan di Indonesia
bersumber kepada Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun
1991 tentang Pelaksanaaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 Tanggal 10 Juni 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum
Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam
di Bidang Hukum Perkawinan tersebut, sebagai pengembangan dan penyempurnaan
dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal-hal yang perlu
diketahui dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan antara lain:
1.
Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 2 dan pasal 3 dari
Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perngertian
perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat
atau misaqan galizan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan tujuan
perkawinan ialah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
2.
Sahnya Perkawinan
Dalam pasal 4 dari Kompilasi Hukum
Islam di bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penjelasan pasal 2 ayat (1) UU RI Tahun
1974 mengatakan sebagai berikut:
·
Dengan
perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan UUD 1945.
·
Yang
dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk
ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam undang-undang ini.
3.
Pencatatan Perkawinan
Dalam pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum
Islam di bidang Hukum Perkawinan dijelaskan:
Ø Agar terjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
Ø Pencatatan perkawinan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah (Kantor Urusan Agama Kecamatan di mana calon mempelai
bertempat tinggal).
Ø Agar pelaksanaan pencatatan
perkawinan itu dapat berlangsung dengan baik, maka setiap perkawinan harus dilangsungkan
di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
Ø Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
4.
Akta Nikah
Akta
Nikah atau Buku Nikah (Surat Nikah) adalah surat keterangan yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah yakni Kantor Urusan Agama Kecamatan, tempat
dilangsungkannya pernikahan yang menerangkan bahwa pada hari, tanggal, bulan,
tahun, dan jam telah terjadi akad nikah antara: seorang laki-laki (dituliskan
nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, dan tempat tinggal) dengan seorang
perempuan (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, dan tempat
tinggal) dan yang menjadi wali (juga dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir,
pekerjaan, tempat tinggal, dan apa hubungannya dengan yang diwalikan).
5.
Kawin Hamil
Dalam
pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dari Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum
perkawinan dijelaskan:
1. Seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat menikah dengan pria yang menghamilinnya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Hal-hal lain yang dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan adalah peminangan, rukun dan
syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, poligami,
pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri,
harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya
perkawinan, rujuk dan masa berkabung.
BAB 6
Perkembangan
Islam di Indonesia
A.
MASUKNYA
ISLAM DI INDONESIA
Menurut hasil seminar “Masuknya Islam di Indonesia,” pada
tanggal 17-20 Maret 1963 di Medan yang dihadiri oleh sejumlah budayawan
sejarawan Indonesia, disebutkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pertama
kali pada abad pertama Hijriah (kira-kira abad 8 Masehi).
Islam
masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu:
Ø Jalur utara, dengan rute: Arab (Mekah
dan Madinah) – Damaskus – Bagdad – Gujarat (Pantai Barat India) – Srilangka –
Indonesia
Ø Jalur selatan, dengan rute: Arab
(Mekah dan Madinah) – Yaman – Gujarat – Srilangka – Indonesia
Daerah
pertama dari kepulauan Indonesia yang dimasukin Islam adalah pantai Sumatera
bagian utara.
Berawal
dari daerah itulah Islam mulai menyebar ke berbagai pelosok Indonesia, yaitu:
wilayah-wilayah Pulau Sumatera (selain pantai Sumatera bagian utara), Pulau
Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, Kepulauan Maluku dan sekitarnya, dalam
kurun waktu yang berbeda-beda. Hal itu disebabkan antara lain sebagai berikut:
·
Adanya
dorongan kewajiban bagi setiap Muslim/Muslimah, khususnya para ulamanya, untuk
berdakwah mensyiarkan Islam sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
·
Adanya
kesungguhan hati dan keuletan para juru dakwah untuk berdakwah secara
terus-menerus kepada keluarga, para tetangga, dan masyarakat sekitarnya.
·
Persyaratan
untuk memasuki Islam sangat mudah, seseorang telah dianggap masuk Islam hanya
dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
·
Ajaran
Islam tentang persamaan dan tidak adanya sistem kasta dan diskriminasi mudah
menarik simpati rakyat, terutama dari lapisan bawah.
·
Banyak
raja-raja Islam yang ada di berbagai wilayah Indonesia ikut berperan aktif
melaksanakan kegiatan dakwah islamiah, khususnya terhadap rakyat mereka.
B.
PERKEMBANGAN
ISLAM DI INDONESIA
Berikut
ini perkembangan Islam di Indonesia.
1.
Sumatera
Daerah yang dimasuki Islam dari
kepulauan Indonesia adalah Sumatera bagian utara, seperti Pasai dan Perlak.
Karena wilayah Sumatera bagian Utara letaknya di tepi Selat Malaka, tempat lalu
lintas kapal-kapal dagang dari India ke Cina.
Para pedagang dari India,
yakni bangsa Arab, Persi, dan Gujarat, yang juga para mubalig Islam, banyak
yang menetap di Bandar-bandar sepanjang Sumatera Utara. Mereka menikah dengan
wanita-wanita pribu yang sebelumnya telah diislamkan, sehingga terbentuknya
keluarga Muslim. Mereka mensyiarkan Islam dengan cara bijaksana, baik dengan
lisan maupun sikap dan perbuatan, terhadap sanak famili, para tetangga, dan
masyarakat sekitarnya.
Hingga akhirnya berdiri
kerajaan Islam pertama, yaitu Samudra Pasai. Kerajaan ini berdiri pada tahun
1261 M, di pesisir timur Laut Aceh Lhokseumawe (Aceh Utara), rajanya bernama
Merah Silu, bergelar Sultan Al-Malik As-Saleh. Beliau menikah dengan putrid
Raja Perlak yang memeluk agama Islam.
Samudra Pasai makin
berkembang dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Seiring dengan
kemajuan kerajaan Samudra Pasai yang sangat pesat, pengembangan agama Islam pun
mendapat perhatian dan dukungan penuh. Samudra Pasai terkenal dengan sebutan
Serambi Mekah.
2.
Jawa
Penemuan nisan makam Siti
Fatimah binti Maimun di daerah Leran/Gresik yang wafat tahun 1101 M dijadikan
tonggak awal kedatangan Islam di Jawa. Hingga pertengahan abad ke-13,
bukti-bukti kepurbakalaan maupun berita-berita asing tentang masuknya Islam di
Jawa sangatlah sedikit. Baru sejak akhir abad ke-13 M hingga abad-abad
berikutnya, terutama sejak Majapahit mencapai puncak kejayaannya, bukti-bukti
proses pengembangan Islam ditemukan lebih banyak lagi. Misalnya, penemuan
kuburan Islam di Troloyo, Trowulan, dan Gresik, juga berita Ma Huan (1416 M)
yang menceritakan tentang adanya orang-orang Islam yang bertempat tinggal di
Gresik.
Pertumbuhan masyarakat
Muslim di sekitar Majapahit sangat erat kaitannya dengan perkembangan hubungan
pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Islam yang telah memiliki
kekuatan politik dan ekonomi di Kerajaan Samudra Pasai dan Malaka. Pengembangan
Islam di tanah Jawa dilakukan oleh para ulama dan mubalig yang kemudian
terkenal dengan sebutan Wali Sanga
(sembilan wali).
1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik
Maulana Malik Ibrahim merupakan
wali tertua di antara Wali Sanga yang
mensyiarkan agama Islam di Jawa Timur, sehingga dikenal pada dengan nama Sunan
Gresik. Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik dengan mendirikan masjid dan
pesantren, tempat mengajarkan Islam kepada para santri dan kepada para penduduk
agar menjadi umat Islam yang bertakwa. Beliau wafat pada tahun 1419 M (882 H)
dan dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel nama aslinya adalah
Raden Rahmat. Lahir pada tahun 1401 M dan wafat pada tahun 1481 M serta
dimakamkan di di desa Ampel. Sunan Ampel menikah dengan seorang putri Tuban
bernama Nyi Ageng Manila dan dikaruniai empat orang anak, yaitu: Maulana Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Nyi Ageng Maloka, dan putri
yang menjadi istri Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Ampel antara lain:
v Mendirikan pesantren di Ampel Denta,
dekat Surabaya.
v Berperan aktif dalam membangun masjid
agung Demak, yang dibangun pada tahun 1479 M.
v Memelopori berdirinya kerajaan Islam
Demak dan ikut menobatkan Raden Fatah sebagai sultan pertamanya.
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang nama aslinya adalah
Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel. Lahir pada tahun 1465 M dan wafat
tahun 1515 M. semasa hidupnya beliau mempelajari Islam dari ayahnya sendiri,
kemudian bersama Raden Paku merantau ke Pasai untuk mendalami Islam. Jasa
beliau sangat besar dalam penyiaran Islam.
4. Sunan Giri (1365-1428)
Beliau adalah seorang wali yang
sangat besar pengaruhnya di Jawa, terutama di Jawa Timur. Ayahnya, Maulana
Ishak, berasal dari Pasai dan ibunya, Sekardadu, putri Raja Blambangan Minak
Sembayu. Belajar Islam di pesantren Ampel Denta dan Pasai.
Sunan Giri (Raden Paku)
mendirikan pesantren di Giri, kira-kira 3 km dari Gresik. Selain itu, beliau
mengutus para mubalig untuk berdakwah ke daerah Madura, Bawean, Kangean, bahkan
ke Lombok, Makassar, Ternate, dan Tidore.
5. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Syarifuddin,
putra Sunan Ampel dan adik Sunan Bonang. Beliau berjasa dalam mensyiarkan Islam
dan mendidik para santri sebagai calon mubalig.
6. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati lebih dikenal dengan
sebutan Syarif Hidayatullah. Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa
Barat dan berhasil mendirikan dua buah kerajaan Islam, yakni Banten dan
Cirebon. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di Gunung
Jati (7 km sebelah utara Cirebon).
7. Sunan Kudus
Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq,
lahir pada pertengahan abad ke-15 dan wafat pada tahun 1550 M (960 H). Beliau
berjasa dalam menyebarkan Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, Jawa Tengah
bagian utara. Sunan Kudus membangun sebuah masjid yang terkenal sebagai Masjid
Menara Kudus. Sunan Kudus juga terkenal sebagai seorang sastrawan, di antara
karya sastranya yang terkenal adalah gending Maskumambang dan Mijil.
8. Sunan Kalijaga
Nama aslinya adalah Raden Mas
Syahid, salah seorang Wali Sanga yang
terkenal karena berjiwa besar, toleran, dan juga pujangga. Beliau adalah
seorang mubalig yang berdakwah sambil berkelana. Di dalam dakwahnya Sunan
Kalijaga sering menggunakan kesenian rakyat (gamelan, wayang, serta lagu-lagu
daerah). Belau wafat pada akhir ke-16 dan dimakamkan di desa Kadilangu sebelah
timur laut kota Demak.
9. Sunan Muria
Nama aslinya Raden Umar Said,
putra dari Sunan Kalijaga. Beliau seorang mubalig yang berdakwah ke
pelosok-pelosok desa dan daerah pegunungan. Di dalam dakwahnya beliau
menggunakan sarana gamelan serta kesenian daerah lainnya. Beliau dimakamkan di
Gunung Muria, yang terletak di sebelah utara kota Kudus.
3.
Sulawesi
Menurut berita Tom Pires, pada awal
abad ke-16 di Sulawesi banyak kerajaan-kerajaan kecil yang sebagian masih
memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Di antara kerajaan-kerajaan itu
yang paling terkenal dan besar adalah kerajaan Gowa Tallo, Bone, Wajo, dan
Sopang.
Pada tahun 1562-1565 M, di
bawah pimpinan Raja Tumaparisi Kolama, kerajaan Gowa Tallo berhasil menaklukkan
daerah Selayar, Bulukumba, Maros, Mandar, dan Luwu. Pada masa itu, di Gowa
Tallo telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dalam jumlah yang
cukup besar. Atas jasa Dato Ribandang dan Dato Sulaemana, penyebaran dan
pengembangan Islam lebih intensif dan mendapat kemajuan yang pesat. Pada
tanggal 22 September 1605 Raja Gowa yang bernama Karaeng Tonigallo masuk Islam
yang kemudian bergelar Sultan Alaudin. Beliau berhubungan baik dengan Ternate,
bahkan secara pribadi beliau bersahabat baik dengan Sultan Babullah dari
Ternate.
Setelah resmi menjadi
kerajaan bercorak Islam, Gowa melakukan perluasan kekuasaannya. Daerah Wajo dan
Sopeng berhasil ditaklukkan pada tahun 1611 M. Sejak saat itu Gowa menjadi
pelabuhan transit yang sangat ramai.
4.
Kalimantan
Sebelum Islam masuk ke
Kalimantan, di Kalimantan Selatan terdapat kerajaan-kerajaan Hindu yang
berpusat di negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang terletak di hulu sungai
Nagara dan Amuntai Kimi. Kerajaan-kerajaan ini sudah menjalin hubungan dengan
Majapahit, bahkan salah seorang raja Majapahit menikah dengan Putri Tunjung
Buih. Hal tersebut tercatat dalam Kitab “Negara
Kertagama” karya Empu Prapanca.
Menjelang kedatangan Islam,
Kerajaan Daha diperintah oleh Maha Raja Sukarana. Setelah beliau meninggal
digantikan oleh Pangeran Tumenggung. Hal ini menimbulkan kemelut keluarga,
karena Pangeran Samudra (cucu Maha Raja Sukarama) merasa lebih berhak atas
takhta kerajaan. Akhirnya Pangeran Samudra dinobatkan menjadi Raja Banjar oleh
para pengikut setianya, yang membawahi daerah Masik, Balit, Muhur, Kuwin dan
Balitung, yang terletak di hilir sungai Nagara.
Berdasarkan hikayat Banjar,
Pangeran Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak (Sultan Trenggono) untuk
memerangi Kerajaan Daha, dengan perjanjian apabila Kerajaan Daha dapat
dikalahkan maka Pangeran Samudra beserta rakyatnya bersedia masuk Islam.
Ternyata berkat bantuan tentara Demak, Pangeran Tumenggung dari Kerajaan Daha
dapat ditundukkan sesuai dengan perjanjian, akhirnya Raja Banjar, Pangeran Samudra
beserta segenap rakyatnya masuk Islam dan bergelar Sultan Suryamullah. Menurut
A.A Cense dalam bukunya, “De Kroniek van
Banjarmasin 1928,” peristiwa itu terjadi pada tahun 1550 M.
5.
Maluku dan
Sekitarnya
Antara tahun 1400-1500 M (abad ke-15)
Islam telah masuk dan berkembang di Maluku, dibawa oleh para pedagang Muslim
dari Pasai, Malaka, dan Jawa. Mereka yang sudah beragama Islam banyak yang
pergi ke pesantren-pesantren di Jawa Timur untuk mempelajari Islam.
Raja-raja
di Maluku yang masuk Islam di antaranya:
1. Raja Ternate, yang kemudian bergelar
Sultan Mahrum (1465-1486). Setelah beliau meninggal, digantikan oleh Sultan
Zaenal Abidin yang besar jasanya dalam mensyiarkan Islam di kepulauan Maluku
dan Irian, bahkan sampai ke Filipina.
2. Raja Tidore, yang kemudian bergelar
Sultan Jamaludin.
3. Raja Jailolo, yang berganti nama
dengan Sultan Hasanuddin.
4. Raja Bacan, yang masuk Islam pada
tahun 1520 dan bergelar Sultan Zaenal Abidin.
Selain
Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian. Daerah-daerah Irian
Jaya yang dimasuki Islam adalah Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.
C.
HIKMAH
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
1. Masa Penjajahan
a.
Peranan Umat Islam pada Masa
Penjajahan
Dengan dianutnya agama Islam oleh
mayoritas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah banyak mendatangkan
perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain:
Ø Masyarakat Indonesia dibebaskan dari
pemujaan berhala dan pendewaan raja-raja serta dibimbing agar menghambakan diri
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Ø Rasa persamaan dan rasa keadilan yang
diajarkan Islam, (lihat Q.S. An-Nahl: 90), mampu mengubah
masyarakat Indonesia yang dulunya menganut system kasta dan diskriminasi
menjadi masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan, harkat,
martabat, dan hak-hak yang sama.
Ø Semangat cinta tanah air dan rasa
kebangsaan yang didengungkan Islam dengan semboyan “Habbul Watan Minal-Iman”
(cinta tanah air sebagian dari iman) mampu mengubah cara berpikir masyarakat
Indonesia, khususnya para pemuda, yang dulunya bersifat sekatrian (lebih mementingkan
sukunya dan daerahnya) menjadi bersifat nasionalis (lebih mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara).
Ø Semboyan yang diajarkan Islam yang
berbunyi “Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan”
telah mampu mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan usaha-usaha
mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan berbagai cara.
Allah SWT berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Q.S. Al-Baqarah: 190).
Menurut islam, berperang
dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, negara, dan
agama merupakan “Jihad bi sabilillah”
yang hukumnya wajib. Sedangkan umat Islam yang mati dalam “Jihad fi sabilillah” tersebut dianggap mati syahid, yang imbalannya
adalah surga.
b.
Perlawanan Kerajaan Islam dalam
Menentang Penjajahan
1) Perlawanan terhadap Penjajah Portugis
Bangsa Portugis datang dari
Eropa Barat ke Dunia Timur, termasuk Indonesia, dengan semboyan “gold (tambang emas), glory (kemuliaan, keagungan), dan gospel (penyebaran agama Nasrani).”
Bangsa Portugis melakukan
berbagai usaha dengan menghalalkan segala cara. Antara lain pada tahun 1511
mereka merebut Bandar Malaka, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Sultan
Mahmud Syah (1488 – 1511).
Sikap bangsa Portugis yang
kasar dan angkuh, yang bermaksud merebut kekuasaan dan memaksakan kemauannya
dalah perdagangan, menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Indonesia
bangkit untuk memberikan perlawanan mengusir penjajah Portugis dari bumi
Nusantara.
Pada tahun 1526 bala
tentara Demak di bawah pimpinan panglima perang Fatahillah berangkat melalui
jalan laut menuju Sunda Kelapa untuk mengusir penjajah Portugis. Setibanya di
Sunda Kelapa, Fatahillah dan bala tentaranya mengepung Sunda Kelapa dan
terjadilah pertempuran sengit melawan penjajah Portugis. Dalam pertempuran ini
Fatahillah dan bala tentaranya memperoleh kemenangan. Sunda Kelapa direbut dari
tangan penjajah. Kemudian Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta
(Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M yang kemudian
ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta. Portugis dan Spanyol mengadakan
Perjanjian Tordesilas (1529) yang isinya:
1. Maluku menjadi milik Portugis
2. Filipina Selatan menjadi milik
Spanyol
2) Perlawanan terhadap Penjajah Belanda
Bangsa Indonesia kembali dijajah oleh bangsa
Belanda, yang untuk pertama kali berlabuh di Banten pada tahun 1596 dipimpin
oleh Cornelis de Houtman. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia sama dengan
tujuan penjajah Portugis, yakni untuk memaksakan praktik monopoli perdagangan
dalam menanamkan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah
Nusantara. Penjajah Belanda menempuh berbagai usaha dan menghalalkan segala
cara. Misalkan, menerapkan politik Divide et Impera, muslihat damai, mengeruk
kekayaan sebanyak-banyaknya dari bumi Nusantara untuk membangun bangsanya, dan
membiarkan rakyat Indonesia berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Sejarah mencatat dengan
tinta emas, sederetan nama para pejuang kusuma bangsa yang menderita, bahkan
berkorban jiwa dalam berperang melawan penjajah Belanda, demi tegaknya
kemerdekaan bangsa dan negara tercinta Indonesia.
Di pulau Jawa nama-nama
tersebut antara lain: Sultan Ageng Tirtayasa, Kyai Tapa dan Bagus Buang dari
Kesultanan Banten, Sultan Ageng dari Kesultanan Mataram, dan Pangeran
Diponegoro dari Kesultanan Yogyakarta.
Dari Kesultanan Aceh kita
bisa mengenal sederetan nama para panglima perang Islam, seperti: Panglima
Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Cek Ditiro, Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman,
Imam Leungbatan, dan Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah.
Dari Maluku, yakni dari
Kesultanan Ternate dan Tidore, tercatat nama-nama para pejuang kusuma bangsa
seperti Saidi, Sultan Jamaluddin, dan Pangeran Neuku.
Dari Sulawesi Selatan, yakni
dari kerajaan Gowa-Tallo dan Bone, terkenal nama pahlawan bangsa seperti Sultan
Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sedangkan dari Kalimantan
Selatan, rakyat yang mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat pajak yang
tinggi dan kewajiban kerja paksa serempak mengangkat senjata di bawah pimpinan
para panglima perang, seperti: Pangeran Antasari, Kyai Demang Lemam, Berasa,
Haji Masrin, Haji Bayasin, Kyai Langlang, Pangeran Hidayat, Pangeran Maradipa,
dan Tumenggung Mancanegara.
Demikianlah nama-nama para
pahlawan Islam sebagai para pejuang kusuma bangsa dari berbagai kepulauan di
Nusantara, yang telah berperang melawan imperialism Belanda. Sayangnya,
perlawanan mereka dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Hal ini disebabkan
antara lain karena perlawanan mereka lebih bersifat lokal regional sporadis
(tidak merata) dan kurang terkoordinasi serta persenjataan pihak kaum
imperialis jauh lebih canggih.
2. Masa Perang Kemerdekaan
a.
Peranan Ulama Islam Pada Masa Perang
Kemerdekaan
Peranan ulama Islam Indonesia
pada masa perang kemerdekaan ada dua macam:
Ø Membina kader umat Islam, melalui
pesantren dan aktif dalam pembinaan masyarakat.
Ø Turut bejuang secara fisik sebagai
pemimpin perang.
Para pahlawan Islam yang telah
berjuang melawan imperialis Portugis dan Belanda, seperti: Fatahillah, Sultan
Baabullah, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan Habib Abdurrahman, adalah juga
para ulama yang beriman dan bertakwa, yang berakhlak baik dan bermanfaat bagi
orang banyak sehingga mereka menjadi panutan umat.
b.
Peranan Organisasi dan Pondok
Pesantren Pada Masa Perang Kemerdekaan
Organisasi-organisasi
tersebut adalah:
1. Serikat Dagang Islam/Serikat Islam
Serikat Dagang Islam didirikan
oleh Haji Samanhudi dan Mas Tirta Adisuryo pada tahun 1905 di Kota Solo. Tujuan
organisasi ini pada awalnya adalah menggalang kekuatan para pedagang Islam
melawan monopoli pedagang Cina (yang mendapat perlakuan istimewa dari
penjajahan Belanda) dan memajukan agama Islam.
Pada tahun 1912 Serikat Dagang Islam
diubah menjadi Serikat Islam (SI), bertujuan bukan hanya untuk memajukan para
pedagang Islam, tetapi lebih luas lagi, yaitu untuk menghapus penderitaan,
penghinaan, dan ketidakadilan yang menimpa seluruh rakyat Indonesia akibat ulah
penjajahan Belanda.
Pada tahun 1914 telah
berdiri 56 perkumpulan lokal Serikat Islam yang telah resmi berbentuk badan
hukum yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Untuk menyeragamkan gerak
dan langkah, pada tanggal 18 Maret 1916 dibentuk wadah Serikat Islam Sentral,
yang diketuai oleh Haji Omar Said Cokroaminoto.
Pada bulan Juni 1916
Serikat Islam mengadakan kongresnya yang pertama yang dinamai Kongres Nasional
Serikat Islam. Di dalam kongres itu dijelaskan bahwa istilah “Nasional”
digunakan untuk mempertegas bahwa Serikat Islam mencita-citakan adanya suatu “Nation” bagi rakyat Indonesia (baca penduduk
pribumi).
Pada tahun 1923 Sentral Serikat
Islam mengubah namanya menjadi Partai Serikat Islam (PSI). Gagasan gerakan
Islam Internasional ini dikemukakan oleh Kyai Haji Agus Salim, dengan nama pan-Islamisme.
2. Muhammadiyah
Organisasi Islam Muhammadiyah
didirikan di kota Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November
1912. Peranan Muhammadiyah pada masa penjajahan Belanda lebih dititikberatkan
pada usaha-usaha mencerdaskan rakyat Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan
mereka, yakni dengan mendirikan sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun
sekolah agama, rumah sakit, panti asuhan, rumah-rumah penampungan bagi warga
miskin dan perpustakaan-perpustakaan.
Pada tahun 1925, tidak lama setelah
pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan wafat, Muhammadiyah sudah tersebar di semua kota
besar di seluruh Indonesia serta berhasil membangun dan mengelola 1774 buah
sekolah, 31 buah perpustakaan, 834 masjid, puluhan rumah sakit, panti asuhan,
dan rumah-rumah penampungan bagi warga miskin.
3. Nahdlatul Ulama (NU)
NU didirikan di Surabaya pada
tanggal 31 Januari 1926. Dua tokoh penting dalam upaya pembentukan NU adalah
K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.
Pada masa penjajahan Belanda, NU
senantiasa berjuang menentang penjajah dan pernah mengeluarkan pernyataan
politik yang isinya:
o Menolak kerja rodi yang dibebankan
oleh penjajah kepada rakyat.
o Menolak rencana ordonansi (peraturan
pemerintah) tentang perwakinan tercatat.
o Menolak diadakannya Milisi (wajib
militer).
o Menyokong GAPI dalam menuntut
Indonesia yang memiliki parlemen kepada pemerintah colonial Belanda.
4. Pondok Pesantren
Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang penyelenggaraan pendidikannya
bersifat tradisional dan sederhana. Mata pelajaran yang diajarkan di pesantren
adalah: Ilmu Tauhid, Fikih Islam, Akhlak, Ushul Fikih, Nahwu, Saraf, dan Ilmu
Mantik. Sumber pelajaraannya, biasanya kitab-kitab berbahasa Arab yang tidak
berharakat atau gundul, yang biasa disebut dengan “Kitab Kuning”.
3. Masa Pembangunan
a.
Peranan Umat Islam pada Masa Pembangunan
Dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan negara Republik Indonesia, umat Islam yang merupakan mayoritas
penduduk, tampil di barisan terdepan dan perjuangan, baik perjuangan fisik
(berperang) maupun perjuangan diplomasi. Di tahun-tahun awal kelahirannya sebagai
negara yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia harus menghadapi Jepang
(September 1945), negara Sekutu (November 1945 – Maret 1946), dan Belanda
(Agresi Belanda I pada 21 Juli 1947 dan Agresi Belanda II pada 19 Desember
1948).
Selain itu, kemerdekaan negara
Republik Indonesia dipertahankan melalui usaha-usaha diplomatic, yaitu
perundingan antara Indonesia dan Belanda, misalnya: perundingan Linggarjati
(November 1946), perjanjian Renville (Desember 1947), perjanjian Roem Royen
(April 1949), dan Konferensi Meja Bundar di Den Haag (2 November 1949).
b.
Peranan Organisasi Islam dalam Masa
Pembangunan
Organisasi Islam yang ada pada masa
pembangunan ini cukup banyak, antara lain: Muhammadiyah; Nahdlatul Ulama (NU);
Himpunan Mahasiswa Islam (HIM), berdiri tahun 1947 di Yogyakarta; Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berdiri pada 17 April 1960 dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) berdiri pada 26 Juli 1975.
Peranan Muhammadiyah dalam masa pembangunan
antara lain:
v Melakukan usaha-usaha agar masyarakat
Indonesia berilmu pengetahuan tinggi, berbudi luhur, dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
v Melakukan usaha-usaha di bidang
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, antara lain mendirikan Rumah Sakit,
Poliklinik, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak), Panti Asuhan, dan Pos Santunan
Sosial.
Nahdlatul Ulama, yang pernah
berkiprah di bidang politik, dalam perkembangan selanjutnya melalui Munas NU
pada tanggal 18 – 21 Desember 1984 di Situbondo, dengan tegas menyatakan bahwa
NU meninggalkan aktivitas politik dan kembali ke khittah (tujuan dasar). Usaha-usaha NU antara lain:
Ø Mendirikan madrasah-madrasah, seperti
Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Perguruan Tinggi.
Ø Mendirikan, mengelola, dan
mengembangkan pesantren-pesantren.
Ø Membantu dan mengurusi anak-anak
yatim dan fakir miskin.
Majelis Ulama Indonesia adalah
organisasi keulamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi kepada salah
satu aliran politik, mazhab atau aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia.
Ada peranan Majelis Ulama
Indonesia pada masa pembangunan adalah:
ü Memberikan fatwa dan nasihat
keagamaan dalam masalah sosial kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam
pada umumnya, sebagai amar ma’ruf nahi mungkar
dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
ü Memperkuat Ukhuwah Islamiah dan melaksanakan kerukunan antarumat beragama
dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.
ü MUI adalah penghubung antara Ulama dan Umara serta menjadi penerjemah timbale-balik antara pemerintah dan
umat Islam Indonesia guna menyukseskan pembangunan nasional.
Organisasi ini pertama kali
diketuai oleh Prof. DR. B.J. Habibie,
yang kemudian menjadi presiden ketiga Republik Indonesia.
c.
Peranan Lembaga Pendidikan Islam
dalam Pembangunan
Lembaga pendidikan Islam adalah badan
yang berhubungan dengan pendidikan Islam untuk memenuhi kebutuhan umatnya di
bidang pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia ada yang
didirikan dan dikelola langsung oleh pemerintah (Departemen Agama), seperti:
Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Madrasah
Aliyah Negeri (MAN), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). IAIN sekarang
berubah menjadi UIN (Unversitas Islam Negeri) yang tidak hanya mendalami ilmu
tentang keislaman, seperti Fakultas Syariah dan Ushuluddin, tetapi juga
mendalami ilmu pengetahuan umum, seperti Fakultas Ekonomi dan Fakultas
Kedokteran.
Adapun peranan-peranan
kelembagaan Islam dalam pembangunan antara lain:
o
Melakukan
usaha-usaha agar masyarakat Indonesia bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
o
Menumbuhkan
kesadaran berbangsa dan bernegara.
o
Memupuk
persatuan dan kesatuan umat.
o
Mencerdaskan
bangsa Indonesia.
o
Mengadakan
pembinaan mental spiritual.